Mitigasi Bencana Berbasis Penataan Ruang

NEWS UPDATE

Mitigasi Bencana Berbasis Penataan Ruang

Mitigasi Bencana Berbasis Penataan Ruang

Kabupaten Karo adalah kabupaten dengan karakteristik geomorfologi rentan bencana gunung api dan gempa bumi. Adapun Kabupaten dan Kota Pariaman berada di kawasan pesisir Pariaman dengan potensi sumber bencana gempa dan tsunami di wilayah Pantai Barat Sumatera (mega thrust zone). Resiko bencana di kedua kawasan ini sesungguhnya dapat dikurangi dengan penataan ruang berbasis mitigasi bencana.

Penataan ruang sendiri terdiri atas tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang kawasan rawan bencana adalah pemanfaatan ruang pada level mikro. Hal ini diungkap oleh Direktur Penataan Kawasan, Ditjen Tata Ruang, Agus Sutanto, pada pembukaan Focus Group Discussion (FGD) Peningkatan Kualitas Tata Ruang Kawasan Rawan Bencana pada Selasa (1/11) di Jakarta. Beberapa pertimbangan penataan ruang di kawasan rawan bencana adalah penghindaran (menghindari pembangunan di daerah rawan bencana), pengamanan (mengamankan daerah terbangun di daerah rawan bencana), pemindahan lokasi (memindahkan lokasi kegiatan budidaya dari lokasi rawan bencana ke lokasi lebih aman), pembatasan intensitas ruang, dan perencanaan lokasi tapak serta konstruksi bangunan.

Acara ini bertujuan untuk menjaring masukan dari berbagai ahli di bidang kebencanaan mengenai metode kajian dan urgensi kualitas peta kawasan rawan bencana. Turut hadir dalam acara ini, pakar kegunungapian Kementerian ESDM, Surono; pakar gempa tektonik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja; dan pakar gerakan tanah dan longsor Institut Teknologi Bandung (ITB), Imam A.Sadisun

“Pada kawasan rawan bencana gunung api di Kabupaten Karo dan Pariaman, kedepannya, dapat dilakukan pelarangan pendirian bangunan permanen,infrastruktur publik, atau pemukiman di dalam radius 4 km dan sektoral selatan-tenggara-timur 5 km di puncak gunung api Sinabung”, ujar Surono pada kesempatan ini. 

Peran Ditjen Tata Ruang juga ditegaskan oleh Danny, terkait pelarangan pembangunan permukiman dan infrastruktur di potensi bencana gempa besar, yang disebabkan baik oleh shaking/seismic hazard, fault surface ruptures (titik gempanya sama), dan secondary hazards (longsor, likuifaksi, dan tsunami). Terakhir, Imam menambahkan bahwa kondisi lingkungan perlu dipertimbangkan saat menentukan bentuk mitigasi bencana, demi tercapainya suitable stabilization atau pengamanan.

Pada kesempatan ini, telah pula dilakukan fasilitasi kepada pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas tata ruang kawasan rawan bencana melalui penyusunan dan/atau penyempurnaan peta kawasan rawan bencana dan penyusunan dokumen penataan ruang kawasan rawan bencana. Diharapkan dokumen ini dapat membantu terwujudnya pengurangan risiko bencana dan menunjang terciptanya ruang yang berkualitas dan berkelanjutan. Diharapkan dokumen ini juga dapat menjadi acuan pemerintah daerah dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan ini. 

Hadir pula dalam diskusi ini perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta internal Direktorat Jenderal Tata Ruang.

sumber:http://www.bpn.go.id

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar