PERMUKIMAN BERBASIS GENDER

NEWS UPDATE

PERMUKIMAN BERBASIS GENDER

PERMUKIMAN BERBASIS GENDER

Hari Habitat Dunia (HHD) erat kaitannua dengan hunian atau permukiman. HHD adalah agenda PBB yang diperingati setiap Hari Senin pertama Bulan Oktober agar seluruh dunia memikirkan kondisi permukiman dan hunian yang layak untuk masyarakat masing-masing. Mengingat dunia bahwa itu adalah tanggung jawab bersama. Namun, perencanaan dan pembangunan baik fisik bangunan dan lingkungan harus dapat memenuhi kebutuhan gender penghuni. Demikian disampaikan SAMPU Hubungan Antar Lembaga Sri Apriantini dan Kasubdit Kebijakan dan Strategi (Jakstra), Ditjen Cipta Karya Hadi Sucahyono dalam dialog di Radio KBR 68 H, Rabu (5/10) di Jakarta. “Gender bukanlah diskriminasi antara Laki – Laki dan Perempuan. Tapi lebih kepada kebutuhan dari masing-masing, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, lansia dan diable people. Yakni permukiman atau tempat bekerja yang memperhatikan kebutuhan dari masing-masing gender,” tegas Sri Apriantini. Dalam UU No. 1 Tahun 2011, rumah didefiniasikan sebagai bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga dan cerminan harkat dan martabat penghuninya. Rumah juga sebagai asset bagi pemiliknya. Namun, dalam pengertian lebih luas hunian bukan hanya bangunan, melainkan suatu hunian permukiman yang memilliki syarat-syarat kehidupan yang layak dipandang dari berbagai segi kehidupan. Menurut Sri Apriantini, tempat tinggal perlu melihat kebutuhan, konsep hunian berbasis gender yanag memprioritaskan pemenuhan kebutuhan untuk menunjang dan mempermudah kegiatan sehari-hari. Dicontohkannya, jarak rumah dengan pasar, sekolah, tempat kerja dan bahkan kawasan komersil lain dengan jarak dan waktu yang cukup singkat. Fasilitas umum dan fasilitas sosial juga harus terpenuhi agar penghuni nyaman dan aman. Selain itu juga arena bermain untuk anak, tempat pembuangan sampah dan sumber air bersih. Dengan membangun hunian berbasis gender akan menjamin kebutuhan tempat tinggal untuk semua kalangan layak huni bisa dipenuhi. Seluruh masyarakat bisa berpartisipasi dan berinteraksi sosial di lingkungan mereka. UU No. 1 Tahun 2011 mengatur secara jelas perencanaan lingkungan hunian, peran pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemukiman. Para perencana lingkungan membuat / menyusun bangunan agar dapat dimanfaatkan gender tanpa diskriminasi antara pria dan wanita. Di tempat bekerja, pegawai perempuan membutuhkan ruang menyusui, tempat penitipan anak. Sedangkan bagi Ibu hamil, lansia yang disable people memerlukan lift. Jika tempat kerja dekat dengan tempat bekerja akan lebih efektif, efisien dan menghemat emisi. Sehingga akan lebih baik jika ada rumah susun di sekitar tempat kerja (perkotaan). Sementara itu, Hadi mengatakan,kebutuhan hunian di perkotaan semakin banyak. Ini berdampak tidak terkendalinya lahan perkotaan yang bukan untuk permukiman. Akibatnya berkembang daerah kumuh di perkotaan. Sehingga, kualitas lingkungan hunian menjadi tidak baik. Pemanfaatan ruang ini untuk hunian akan menimbulkan bencana. Pemanfaatan lingkungan sudah diatur dalam rencana tata ruang wilayah. Yang terpenting dalam suatu kawasan permukiman adalah ruang terbuka hijua (RTH). Selain sebagai resapan air, RTH juga berfungsi sebagai estetika, tempat bermain anak. Namun dikhawatirkan adalah keselamatan anak jika berada di taman. Sehingga taman sebagai bagian dari permukiman harus difasilitasi penerangan dan air bersih. Ini perlu ketegasan dari yang berwenang. Menurut Hadi, peringatan HHD mengajak dunia usaha atau pengembang untuk peduli terhadap lingkungan dengan memenuhi syarat pembangunan suatu hunian. Pemerintah lebih banyak membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah, yakni menangani kawasan kumuh perkotaan dengan dua program kegiatan. Pertama, perbaikan prasarana seperti jalan setapak di permukiman. Kedua, kedua penyediaan sarana hunian seperti rumah susun sewa. (ind)

sumber:https://www.pu.go.id

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar