Pedestrian dan Ruang Publik

NEWS UPDATE

Pedestrian dan Ruang Publik

Pedestrian dan Ruang Publik

Jalan kaki selalu memperantarai kita untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari ruang makan ke dapur, dari taman di samping rumah ke pintu pagar, bahkan dari pintu kamar ke ranjang. Lintasannya selalu kita pelihara agar gerak perpindahan diantara tempat-tempat itu mudah. Sedapat mungkin kita akan menyingkirkan hambatan yang mengganggu ataupun menghalangi.

Seisi rumah memakluminya. Ada konsensus yang tak perlu didiskusikan sehingga masing-masing mengerti untuk tak meletakkan atau melakukan sesuatu pada lintasan-lintasan itu. Kecuali kondisi yang betul-betul memaksa.

— lalu, mengapa tak banyak yang perduli pada fasilitas pedestrian kota dan ruang-ruang publik yang mestinya milik bersama?

Kita tak akan meludah atau buang air di koridor yang menghubungkan ruang makan dengan dapur. Tak juga membuang sampah dan membiarkannya membusuk pada ruang lintasan yang menghubungkan taman di samping rumah dengan pintu pagar. Tak mungkin pula membersihkan ikan atau mengiris cabe pada ruang yang memisahkan pintu kamar dan ranjang.

— sebab semua penghuni rumah ingin menjaga ketertiban ruang-ruang itu agar tetap mudah dan nyaman bagi yang menggunakannya.

Konsensus itu hadir tanpa harus dituangkan dalam anggaran dasar dan rumah-tangga, undang-undang, ataupun aneka peraturan tertulis yang diikrarkan keras-keras. Masing-masing begitu saja memahami sekaligus menjaganya. Bahkan kadang ada yang berinisiatif untuk memperindah dan membuatnya lebih nyaman. Menempatkan kursi dan meja di sisi taman yang berbatasan dengan dinding bangunan — tanpa menghalangi jalan menuju pagar —untuk menikmati teh dan kudapan sore. Meletakkan dispenser air mineral yang mudah dijangkau dari dapur maupun ruang makan. Atau menggelar keset kaki di depan pintu kamar sebelum masuk dan menuju ranjang. Semua menikmati dan tak ada yang keberatan.

— fasilitas pedestrian mencerminkan sikap dan prilaku warga kotanya. Apakah sesungguhnya mereka sangat individualistis, tak peduli satu dengan yang lain, atau menafikan kebersamaan?

Ketiga-tiganya benar dan tak terbantahkan.

Sebab, begitu mudah mereka memarkir sepeda motor, bahkan mobil, pada trotoar yang semestinya digunakan untuk pejalan kaki melintas. Lubang-lubang tetap dibiarkan menganga dan tak ada yang peduli. Tiang listrik ataupun kotak pengatur sambungan telfon dibiarkan begitu saja di tengah-tengah sehingga menghalangi lintasan lalu-lalang. Mereka tak sungkan mencampakkan sampah apapun, termasuk bangkai tikus, di sana.

Mereka tak kuasa melarang yang lain — atas nama kemiskinan dan ketidak-beruntungan — menempati dan menggunakan ruang-ruang publik untuk kepentingan pribadinya. Menyingkirkan fungsi kebersamaan dan manfaat yang semestinya untuk semua.

Mungkin semula dimaklumi sebagai darurat yang boleh dikecualikan sesaat. Seperti membiarkan tukang sayur sejenak menjajakan dagangan sehingga memudahkan tetangga lain yang juga jadi pelanggannya. Tapi tak berarti mengikhlaskannya untuk menetap dan mengajak pedagang lain bergerombol di sana. Jika demikian maka tak lagi tentang kita, tapi soal mereka yang sesungguhnya hanya datang dan pergi demi peruntungan pribadi.

Lalu, tersebutlah toleransi, belas kasihan, tepo-seliro, tolong-menolong, hingga saling pengertian yang sesungguhnya dimaknai keliru. Fakir-miskin dibiarkan singgah hingga menetap di ruang-ruang bersama itu. Karena yang diamanahkan mengurusnya tak cakap, malas, dan korup. Diputar-baliknya makna kebersamaan menggunakan kekuasaan yang dilimpahkan sementara. Hingga mereka yang sesungguhnya berhak menjadi lelah — bukan takut sebab merasa percuma — untuk membantah maupun menuntutnya.

Efisien?

Tentu tidak.

— tapi mungkin efektif terhadap penciptaan chaos. Ketidak-beraturan yang semakin mengaburkan ujung maupun pangkalnya.

Kita tak tahu lagi mendefinisikan benar atau salah — bahkan tepat atau sia-sia — makna pembersihan, penertiban, dan penggusuran pada ruang-ruang publik, termasuk fasilitas pedestrian. Sebab yang liar telah menganggap dirinya berhak. Celakanya, mereka yang sesungguhnya berhak pun telah lupa dan mengabaikan.

Maka — ketika sekelas nabi atau rasul sekalipun yang menempati peran administratur kekuasaan untuk mengelola yang diamanahkan kini — semua pihak mudah curiga, tersulut sakwasangka buruk, dan terhasut kebencian yang keliru.

sumber:

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar