BENCANA DAN KEGAGALAN TATA RUANG

NEWS UPDATE

BENCANA DAN KEGAGALAN TATA RUANG

a.      Latar Belakang
Manusia hidup di dunia dari waktu ke waktu sepanjang periode sejarah manusia selalu berupaya untuk hidup dan bermasyarakat lebih aman, lebih nyaman, lebih sejahtera dan terjamin keberlanjutannya.   Tata cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik pada masing-masing periode bermacam-macam dan umumnya dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya alam dimana sekelompok manusia berkumpul dan bermasyarakat.
Kuantitas sumberdaya alam bukan tidak ada batasnya, namun karena penyebarannya yang tidak merata menyebabkan terdapat daerah dengan sumberdaya alam terbatas dan daerah dengan sumberdaya alam melimpah.  Ketika manusia menyadari bahwa sumberdaya alamnya terbatas sementara pertumbuhan permintaan terus meningkat maka ada upaya untuk mengatur penggunaan sumberdaya alam. Pengaturan pengalokasian sumberdaya alam terkait dengan alokasi lahan.  Pengaturan ini  bertujuan untuk mengelola lahan sehingga lahan dapat berfungsi optimal dan lestari.  Namun pengaturan atau penataan ruang ini banyak menimbulkan masalah dan persoalan terkait dengan pembagian ruang untuk berbagai macam sektor.
Penataan ruang merupakan amanah yang harus dilaksanakan berdasarkan pada Undang-Undang No. 24 tahun 1992 jo Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.  Hal tersebut juga dilakukan sesuai dengan adanya amanat dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah maka pelaksanaan tata ruang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Secara hirarki penataan ruang di Indonesia terdiri atas penataan ruang nasional yang menjabarkan tentang penggunaan ruang dalam lingkup wilayah negara kesatuan Indonesia, kemudian adalah penataan ruang dalam tingkatan Propinsi atau RTRWP dan dalam tingkatan Kabupaten (RTRWK).   RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) adalah penataan ruang dalam wilayah Propinsi, begitu pula dengan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota) yaitu pembagian ruang dalam wilayah Kabupaten/Kota.  Sedangkan untuk kepentingan operasional terdapat rencana detail tata ruang wilayah kabupaten dan atau kota.
Sebagai negara yang sedang Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang cukup tinggi.  Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka perubahan tata guna lahan yang semestinya menjadi kawasan non budidaya menjadi kawasan budidaya seperti pertanian/perkebunan, perumahan, dan lain-lain.  Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan arahan tata ruang dan tidak sesuai dengan kondisi biofisik lapangan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan dan bencana.
Bencana yang sering terjadi karena tidak adanya keselarasan pemanfaatan ruang dan kemampuan lahan adalah bencana banjir dan tanah longsor.   Kejadian banjir dan tanah longsor di Bandung Selatan Jawa Barat, Trenggalek Jawa Timur,   Sumatera Barat,  Madina Sumatera Utara dan beberapa daerah lain di Indonesia pada musim diduga disebabkan karena pengelolaan daerah hulu yang tidak mempertimbangkan akibat yang akan dialami oleh daerah hilir.
Untuk mencegah semakin banyaknya kejadian banjir dan tanah longsor, maka diperlukan perencanaan pemanfaatan ruang yang mempertimbangkan keselarasan antara kebutuhan hidup manusia dan kelestarian lingkungan.
 
b.      Tujuan Penulisan
Penulisan artike ini bertujuan untuk :
1.      Mengidentifikasi isu dan permasalahan yang terkait penataan ruang dan pengembangan wilayah
2.      Menganalisis kasus yang terjadi dalam penataan ruang dan pengembangan wilayah
3.      Mencari solusi pemecahan permasalahan terkait penataan ruang dan pengembangan wilayah
 
c.       Manfaat Penulisan
      Manfaat yang diperoleh dari penulisan artikel ini adalah sebagai informasi dasar yang dapat digunakan dalam proses penyusunan kebijakan penataan ruang dan pengembangan wilayah yang berkelanjutan.
 
 
 
II.                  ISU PENATAAN RUANG
Beberapa isu yang terkait dengan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor adalah :
1.      Isu kerusakan lingkungan dan tata ruang
            Kejadian banjir dan tanah longsor utamanya terjadi pada daerah-daerah yang berada di hilir pada suatu system daerah aliran sungai.   Banjir dan longsor mengakibatkan kerusakan material cukup besar.   Jika terjadi kerusakan maka yang dilakukan sebagian orang adalah segera mencari “tersangka” yang menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Daerah hulu sering dianggap sebagai penyebab terjadinya banjir dan longsor di daerah hilir.  Masyarakat yang tinggal di sekitar sungai diduga menyebabkan banjir bandang karena membuang sampah dan menghambat laju aliran air. Para petani yang melakukan budidaya pertanian di daerah dengan topografi terjal dan membuka hutan di hulu diduga menyebabkan banjir dan longsor di daerahnya
            Tekanan terhadap sumberdaya alam yang berlebihan menyebabkan kerusakan lingkungan.  Pada gilirannya, kerusakan lingkungan ini akan berimplikasi berkurangnya kemampuan alam dalam menyediakan kebutuhan dan mendukung kehidupan manusia.   Kekurangan pangan, kekurangan air,  dan gangguan kesehatan muncul karena kerusakan lingkungan yang parah. 
            Tata ruang diduga tidak dijalankan sebagaimana mestinya seperti yang dituangkan dalam pola dan struktur tata ruang yang disusun.   Banyak perubahan-perubahan praktek di lapangan karena adanya gap antara penataan ruang dan penatagunaan lahan terhadap penguasaan lahan.  Diperlukan upaya-upaya untuk memperbaiki lingkungan yang rusak dan mencegah kerusakan lebih luas lagi.
 
2.      Isu penegakan hukum
Hasil penataan ruang merupakan produk hukum yang harus ditaati oleh seluruh warga negara. Oleh karena peran serta masyarakat baik dalam arti keterwakilan ataupun muatan tata ruang yang seharusnya mencerminkan  aspirasi dan kepentingan masyarakat diakomodir dalam rencana tata ruang.     Kurangnya peran serta masyarakat  dalam penyusunan tata ruang akan menyebabkan penolakan atau pembiaran terhadap hasil rencana tata ruang.  Sebagai contoh terbatasnya peran serta masyarakat dapat dilihat dari penolakan kelompok masyarakat di Kabupaten Pati atas draf tata ruang Propinsi Jawa Tengah.
Ruang yang telah ditetapkan untuk peruntukan tertentu harus dikawal agar sesuai dengan yang direncanakan dalam rencana tata ruang.   Pemanfaatan dan penggunaan lahan banyak tidak sesuai dengan tata ruang  banyak terjadi di berbagai daerah.  Misalnya  luas tutupan lahan berhutan  di DAS Citarum berdasarkan penelitian hanya 1,4%  kurang memenuhi sebagai daya dukung lingkungan.   Di beberapa sungai Jawa TengahTinggi  menunjukkan sedimentasi yang tinggi dapat dijadikan indikasi beban yang melebihi daya tampung. Hal ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum.  
3.      Isu relasi kewenangan pengaturan daerah hulu dan hilir
            Keterkaitan hubungan kewenangan dalam tata kelola wilayah hulu dan hilir dalam sebuah system daerah aliran sungai.  Kerja saman keterkaitan daerah hulu-hilir dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) masih sulit dilakukan. 
Masalah yang dihadapi dalam mengelola sumber daya alam hulu hilir adalah kenyataan bahwa secara ekologi kawasan hulu hilir  merupakan area yang bersifat lintas wilayah administratif.  Sedangkan di sisi lain, euphoria otonomi daerah yang bertumpu pada kekuatan kabupaten dan atay kota memunculkan ego dan fanatisme kedaerahan yang berlebihan.  Hal ini memberikan pengaruh nyata berupa kesulitan dalam membangun suatu kawasan dengan melakukan pengelolan SDA secara kolaboratif.
            Pemerintah daerah yang berada di hulu, sebagai daerah otonom yang mandiri harus menggali potensi pendapatan daerah.  Dorongan menambah pendapatan daerah menyebabkan kabupaten yang berada di hulu mengeksploitasi SDA yang dimilikiknya.  Jika tidak memiliki SDA cukup, daerah hulu melakukan industrialisasi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap wilayah hilir yang dikuasai pemerintah kabupaten atau kota lainnya.
Sesungguhnya pengelolaan SDA dari daerah hulu sampai ke hilir sangat membutuhkan koordinasi, kerja sama,  serta keterpaduan.    Model kerjasama dan koordinasi yang ideal perlu dikaji dan disepakati sehingga daerah hulu memperoleh pendapatan daerah yang layak, tanpa harus mengorbankan wilayah hilir.  Demikian juga daerah hilir harus membuat kesepakatan bagaimana daerah hilir juga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan wilayah hulu sehingga mereka tidak merusak lingkungannya.  
 
4.      Isu keterkaitan antar sector
            Isu dan permasalah lain dari artikel yang dimuat harian Media Indonesia adalah  hubungan keterkaitan antar sector.   Pengelolaan hutan di daerah hulu akan berdampak kemampuan daerah aliran sungai dalam menjaga keseimbangan siklus hidrologi daerah hulu sampai ke wilayah pesisir pantai.     Keterkaitan antara sector kehutanan, pertanian dan pengelola pesisir sangat erat. Pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ekologi dapat mengurangi fungsi lindung hutan dalam menjaga melindungi daerah di bawahnya.   Banjir dan erosi akan terjadi dan membuat sedimentasi di wilayah pesisir.  Sedimentasi wilayah pesisir dapat merusak ekosistem terumbu karang dan tipe ekosistem pesisir lain.   
 
III.                ANALISIS ISU DAN PERMASALAHAN
1.       Tata ruang dan kerusakan lingkungan
Sulit terbantahkan lagi, bahwa akar sumber bencana dan kerusakan lingkungan adalah tata ruang yang kurang konsisten dalam pelaksanaan dan pengawasan pemanfaatan ruang. Hal ini dapat dikritisi berdasarkan dua hal yaitu :
1.          Bagaimana dengan awal mula pengalokasian ruang, apakah sesuai dengan kondisi lingkungan?
2.          Apakah  dokumen tata ruang ketika sudah menjadi produk hukum apakah diimplementasikan sesuai dengan peruntukannya?
 
Sudah menjadi hal lumrah bahwa pekerjaan penataan ruang lebih banyak dilakukan di belakang meja.  Pengamatan dan pengenalan kondisi lapangan kurang mendapatkan perhatian.   Pertimbangan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi lebih diutamakan sehingga penetapan peruntukan penggunaan ruang lebih banyak didasarkan atas kepentingan pertumbuhan ekonomi.  Padahal dalam perencanaan tata ruang harus didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan social, ekonomi dan ekologi.  Pengalokasian suatu ruang untuk keperluan tertentu harus berdasar pada kemampuan dan daya dukung lingkungannya agar bisa berkelanjutan.
 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 15 mengamanatkan bahwa pemerintah dan pemda (provinsi, kota, dan kabupaten) wajib melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS)  dalam penyusunan rencana tata ruangnya.  Kajian itu dimaksudkan untuk mengintegrasikan aspek lingkungan dalam pengambilan keputusan pada tahapan awal. Aspek lingkungan memandang bahwa tata ruang merupakan instrumen penting dalam kebijakan pembangunan.   Bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, abrasi, kekeringan yang terus menimpa negeri ini karena kegagalan penataan ruang.
 
 
5.      Isu penegakan hukum
Perencanaan tata ruang sebenarnya untuk masyarakat (plan for people), sehingga jiwa dan semangat penataan ruang haruslah semata-mata untuk kesejahteraan umat manusia.  Oleh karena itu, penataan ruang sudah seharusnya bekerja dengan dan untuk masyarakat (plan by people) dan turut serta mendorong kegiatan perencanaan tata ruang agar menjadi proses yang partisipatif.  Keterlibatan masyarakat menjadi komponen penting dalam perencanaan. Begitu juga halnya dalam pembangunan karena anggota masyarakat memiliki perspektif yang berbeda-beda, baik dalam haknya sebagai orang memiliki pengetahuan maupun sebagai actor strategis dalam pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi rencana tersebut (Chambers 1997; Arnstein, 1969).
Keberhasilan penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sebagai tahapan pertama dari penataan ruang, maka perencanaan memegang peran strategis dan vital untuk dapat menentukan keberhasilan pemanfaatan dan serta pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien. Perencanaan yang partisipatif memberikan peluang yang lebih besar untuk terciptanya pemanfaatan ruang yang terpadu dan sinergis, proses partisipatif dalam tahapan perencanaan tata ruang saja, beserta apa peran dan kontribusi yang dapat dilakukan oleh para perencana.
Perencanaan tata ruang yang partisipatif diharapkan dapat menekan tingkat pelanggaran pemanfatan ruang.  Selain itu,  upaya untuk mengatasi kerusahkan lingkungan dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kepentingan lingkungan pada tingkatan pengambilan keputusan yang strategis, yakni pada tataran kebijakan (policy), rencana (plan), atau program; melalui aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).
 
Negara-negara Eropa sejak tahun 2001 yang lalu, diwajibkan melakukan KLHS terhadap rencana dan program.  Bahkan di Vietnam dan China KLHS berstatus wajib dan telah dilembagakan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika di Indonesia juga dilakukan KLHS dengan mempertimbangkan kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota, serta mempertimbangkan karakter kebijakan, rencana dan program pembangunan di Indonesia.  Hal ini sudah menjadi bagian dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
 
Jika kerusakan lingkungan dicoba untuk direduksi dan dicegah dengan KLHS, bencana yang timbul karena kurang tepatnya tata ruang maka dapat dipertimbangkan juga untuk mempertimbangan mitigasi bencana dalam perencanaan tata ruang.   
Mitigasi bencana yang structural  berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata ruang yang disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan.   Rencana Tata Ruang akan memenuhi kebutuhan terhadap pentingnya instrument pencegahan resiko dan mitigasi bencana alam, terutama dalam mendukung elemen-elemen dalam manajemen bencana seperti antara lain Early Warning System (EWS), Pemetaan dan Penilaian Resiko, Prevensi dan Reduksi,  Manajemen Resiko, dan Rekonstruksi.
 
3.       Keterkaitan antar hulu dan hilir
Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan arahan dan pedoman cara memanfaatkan ruang dan sanksi bagi pelanggarannya. Sesungguhnya undang-undang ini telah memberikan arahan bahwa penataan ruang tidak melihat batas administrasi pemerintahan daerah.  Pembangunan yang bertumpu pada tata ruang sudah seyogyanya saling kait-mengkait, terlepas dari daerah itu sudah melampaui batas wilayah administratifnya.  Maksudnya adalah jika suatu wilayah dengan fungsi, kondisi, dan karakter lahanya  sama,  namun secara kewilayahan ada perbedaan administrasi kepemerintahan, maka wilayah tersebut tetap ditentukan penggunaannya sesuai peruntukan awalnya, sesuai rencana tata ruang secara nasional.  Daerah yang demikian bisa menjadi satu unit perencanaan ecoregion sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang lingkungan hidup  No. 32 tahun 2009.
Sebagai contoh jika terdapat  hutan lindung berada dalam dua wilayah administrasi yang berbeda maka tetap saja wilayah itu sebagai hutan lindung apalagi dua daerah tersebut satu berada di hulu dan yang lain berada di hilir.  Namun demikian masih meskipun hutan produksi yang ada daerah hulu tetap saja pengeloaannya harus mempertimbangkan daerah di bawahnya. 
Fakta di lapangan masih ditemukan belum adanya keterpaduan penataan ruang antara pusat dan  provinsi, beserta pemkab/ pemkot.  Sebenarnya pemerintah pusat telah mempunyai rencana tata ruang (RTR), yang diterjemahkan ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi, RTRW kota/kabupaten.  Ketidakterpaduan tidak akan terjadi jika masing-masing kabupaten dan kota, rencana tata ruang nya merupakan penjabaran lebih detail lagi rencana tata ruang propinsi. Demikian juga  RTRW provins harus mengacu rencana nasional.
Bagaimana daerah hulu dapat memelihara kawasan lindungnya sehingga tidak merugikan bagi daerah sangat bergantung pada kesepakatan pemerintah di daerah hulu dan hilir.  Sebagai sebuah system dalam DAS apa yang terjadi di hulu akan memberikan dampak bagi daerah hilir.  Pemerintah dalam satu DAS sebisa mungkin berkoordinasi dalam merencanaan penataan ruangnya.  Daerah hulu harus membuka diri dan memberikan kesempatan kepada hilir untuk berperan aktif.  Oleh karenanya daerah hilir yang umumnya berupa industri yang umumnya untuk keperluan jasa lingkungan mengandalkan daerah hulu sudah seyogyanya berkontribusi terhadap pembangunan di daerah hulu.
            Mekanisme pembagian peran dan apa saja yang diberikan oleh pihak-pihak yang masih dalam satu daerah aliran sungai bisa disepakati bersama.  Sudah ada contoh terkait peran hulu hilir dalam system DAS, yaitu pemerintah kota Cirebon bersedia memberikan sejumlah dana kepada pemerintah Sumedang yang notabene berada di Hulu untuk menjaga kualitas lingkungan DAS nya sehingga kota Cirebon dapat bebas banjir dan sekaligus mendapatkan pelayanan jasa lingkungan dari hutan di Sumedang.  Kedua pemerintah melakukan kesepakatan yang tidak diatur dalam undang-undang, tapi hanya karena kebutuhan terhadap lingkungan yang  nyaman.
            Alternatif lain bagi daerah hilir untuk berperan aktif menjaga lingkungan di hulu dapat melalui pemberian insentif bagi masyarakat daerah hulu untuk menjaga sumberdaya alamnya terutama hutan.
sumber:http://gsamsuri.blogspot.co.id

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar