Rencana Tata Ruang Wilayah dan Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan

NEWS UPDATE

Rencana Tata Ruang Wilayah dan Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan

Rencana Tata Ruang Wilayah dan Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya peluang untuk mencapai pembangunan rendah emisi. Sebagai suatu institusi (rule of game), RTRW tidak terlepas dari permasalahan mendasar yang melandasi proses pembentukannya. Hal inilah yang membuat RTRW sebagai suatu dokumen legal sering kali gagal menjadi acuan pembangunan daerah. RTRW tidak hanya sebatas ijin dan legalisasi pemanfaatan dan pembagian ruang atas sumberdaya alam (SDA) namun lebih dari itu karena pada setiap SDAsumberdaya alam melekat manfaat yang berbeda-beda. Tulisan ini merupakan opini penulis sebagai suatu identifikasi awal dalam memahami proses penyusunan atau revisi RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar).  Cara pandang Teori Akses digunakan untuk menguraikan alokasi dan distribusi manfaat sumberdaya hutan dan lahan untuk menuju pembangunan rendah emisi.
 
Revisi RTRW sangat lazim terjadi di Indonesia, sebagaimana terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar). Melalui peraturan daerah (Perda) No. 8 Tahun 2008, Kabupaten Tanjabar melakukan pemekaran kecamatan dari yang semula 5 kecamatan berubah menjadi 13 kecamatan[1]. Hal ini berdampak terhadap alokasi dan distribusi manfaat SDA yang tersedia.
 
 
 
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
 
Kabupaten Tanjabar yang terletak di bagian timur Propinsi Jambi ini memiliki potensi sumberdaya tambang berupa jenis bahan galian yang tersebar di beberapa kecamatan . Potensi pertambangan yang paling dominan adalah minyak bumi, gas dan batubara. Total luas wilayah Kabupaten Tanjabar sekitar 5.009,82 km2 denganwilayah perairan atau laut meliputi 141,75 km2 berada pada  garis pantai sepanjang + 45 km.
 
Potensi SDA di kabupaten ini yang tidak kalah penting bila dibandingkan dengan sektor pertambangan adalah sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Luas kawasan hutan Kabupaten Tanjabar adalah 246.601,70 ha yang terdiri dari cagar alam seluas 85 ha, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh 9.900 ha, hutan lindung gambut 16.995 ha, hutan produksi terbatas 41.995 ha dan hutan produksi tetap 178.605,60 ha[2].
 
Seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia, kawasan hutan Kabupaten Tanjabar terancam oleh ekspansi konsesi hutan tanaman industri (HTI), pembalakan liar dan perkebunan sawit skala besar. Sebagian besar kawasan hutan produksi telah dikelola dalam bentuk hak HTI oleh PT. WKS, PT. RHM dan PT. WT. Untuk sektor perkebunan terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada produksi kelapa sawit dari  10.961,70 ton tahun 2005 menjadi 183.200,70 ton tahun 2007[3]. Peningkatan produksi ini tentunya berjalan seiring dengan kebutuhan akan lahan perkebunan dan berlawanan arah dengan luas tutupan hutan.
 
Sementara itu, sumberdaya alam hutan memiliki manfaat tidak langsung bagi kehidupan manusia yang sering kali justru diabaikan demi keuntungan ekonomi semata, sehingga mengakibatkan emisi tinggi dalam proses alih guna lahan hingga produksi.
 
 
 

Teori Akses dalam Distribusi Manfaat Pengelolaan Sumberdaya Hutan dan Lahan

 
Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso dalam bukunya ‘Rural Sociology’ (2003) mendefinisikan ‘akses’ sebagai kemampuan atau kesempatan untuk medapatkan manfaat dari sesuatu (dalam hal ini sumberdaya alam/hutan). Pertimbangan siapa yang berhak dan yang tidak berhak untuk mendapatkan akses pengelolaan sumberdaya alam atau hutan atau lahan sangat penting dalam proses penyusunan atau revisi RTRW . Terutama bilamana dilihat dengan cara apa dan kapan hal tersebut terjadi.
 
Prof. Hariadi Kartodihardjo dalam presentasinya mengenai ’Hutan dan Tata Ruang’ menggarisbawahi beberapa kelemahan RTRW. Sebagai peraturan perundangan (rule of game) pembangunan daerah yang legal, RTRW masih dianggap gagal untuk mewakili kepentingan berbagai pihak  dalam hal pendistribusian kesempatan atau izin untuk memanfaatkan sumberdaya alam atau hutan atau lahan.
 
Kondisi politik-ekonomi memegang peranan penting dalam proses alokasi dan distribusi manfaat sumberdaya. Ketika RTRW tidak mampu mengarahkan dan mengontrol pemanfaatan sumberdaya (lack of enforcement), akan terjadi suatu kondisi dimana interaksi aktor atau jaringan (network), politik atau kepentingan, pelaksana kebijakan dan pelaku usaha lebih dominan (web of power) dan menjadi kontrol ”terselubung” dalam distribusi manfaat sumberdaya hutan atau lahan.
 
Interaksi faktor-faktor tersebut tidak akan pernah seimbang, selalu ada faktor yang dominan tergantung kepada akses yang dimiliki. Pemerintah kabupaten Tanjabar dapat dianggap sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dan kontrol yang kuat (bundle of power) atas kepemilikan, pemanfaatan, alokasi dan pendistribusian sumberdaya disamping pemerintah pusat. Dilain sisi, individu atau institusi lain seperti masyarakat, swasta, LSM dan lembaga daerah lainnya tetap berusaha untuk menjaga akses terhadap sumberdaya hutan/lahan melalui pemerintah daerah. Ekspansi perusahaan HTI, misalnya PT. WKS, dan perkebunan skala besar yang ada di Tanjabar dapat dijadikan contoh. Perusahaan skala besar memiliki akses terhadap modal, teknologi, pasar, tenaga kerja, dan informasi, membuat perusahaan tersebut memiliki posisi tawar yang tinggi dalam memperoleh distribusi manfaat sumberdaya hutan/lahan yang pada akhirnya perusahaan akan memperoleh legalitas (right based access).
 
Sama halnya dengan aktivitas pembalakan liar dan pengambilan lahan atau hutan untuk perkebunan dan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat berusaha untuk mendapatkan hak pengelolaan melalui klaim individu atau komunal dan adat yang kadang bertentangan dengan kebijakan pemerintah daerah dan pusat. Hal ini terjadi akibat rendahnya pengakuan, pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan seperti dalam proses penyusunan RTRW karena masyarakat memiliki akses yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan skala besar. Pada akhirnya kondisi seperti ini akan menyebabkan konflik pemanfaatan sumberdaya hutan/lahan.
 
Permasalahan lain adalah tata kelola kehutanan (forest governance) yang tidak baik. Kebijakan distribusi manfaat yang tidak berimbang antara perusahaan besar dengan masyarakat lokal/adat. Hal ini dapat dilihat dari tumpang tindih kebijakan (inkonsistensi) peraturan dan kebijakan kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemanfaatan sumberdaya hutan/lahan dengan menggunakan jaring kekuasaan (web of power) sering kali merealokasi peruntukan dan fungsi kawasan hutan  dan me-redistribusi manfaat atas sumberdaya tersebut. Hal ini juga memberikan dampak yang sangat buruk terhadap pemberlakuan RTRW sebagai arahan pembangunan daerah.
 
Banyak sekali hal yang perlu untuk diketahui lebih lanjut mengenai rangkaian jaring kekuasaan (web of power) dalam penyusunan dokumen RTRW, dan tidak sesederhana apa yang sudah disampaikan. Pemaparan ini hanya sebagian kecil dari permasalahan sektor kehutanan yang melandasi penyusunan RTRW dilihat dengan menggunakan kacamata ”teori akses”. Harapannya dengan penyusunan RTRW yang lebih partisipatif dan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak (local approach) maka pembangunan daerah yang berorientasi kepada keadilan dan keberlanjutan sumberdaya alam dapat tercapai.
 
sumber:http://kiprahagroforestri.blogspot.co.id

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar