ASPEK HUKUM PENATAAN RUANG DI INDONESIA

NEWS UPDATE

ASPEK HUKUM PENATAAN RUANG DI INDONESIA

ASPEK HUKUM PENATAAN RUANG DI INDONESIA
A. PENGANTAR
Menurut Moenadjat Danoesapoetro, hukum lingkungan dibedakan antara Hukum Lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau "environment oriented law" dan Hukum Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau "use‑oriented law".
Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus‑menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi‑generasi mendatang.
Sebaliknya Hukum Lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma‑norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber‑sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin dan dalam jangka waktu yang sesingkat‑singkatnya.
Hukum Lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi.
Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan modern memiliki sifat utuh‑menyeluruh atau komprehensif‑integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, sedang sebaliknya Hukum Lingkungan Klasik bersifat sektoral, serba kaku, dan sukar berubah.
Dengan diundangkannya Undang‑undang No. 4 Tahun 1982 tentang  Ketentuan‑ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang kemudian diganti dengan UU No. 23/1997), pada tanggal 11 Maret 1982, Indonesia telah menganut Hukum Lingkungan modern.
UUPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup serta memberi arah dan ciri serupa bagi peraturan perundang‑undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, UUPLH berfungsi sebagai "payung" bagi penyusunan peraturan perundang‑undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang‑undangan yang telah ada.
Landasan konstitusional bagi perlindungan lingkungan hidup di Indonesia terdapat dalam alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dalam konteks kuliah ini, Tata Ruang adalah bagian dari LH, keterkaitan antara tata ruang dan lingkungan hidup dapat dilihat  dalam Pasal 1 UU No. 23/1997 tentang PLH yang menyatakan bahwa LH adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan Manusia  serta mahluk hidup lainnya. Dari penjelasan itu jelas bahwa persoalan tata ruang pada dasarnya adalah bagian dari persoalan pengelolaan lingkungan hidup, di mana yang harus dikelola adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan LH (Perhatikan UUPLH Pasal 1 point  2), LH disini yang dimaksudkan tentunya adalah ruang.
Landasan konstitusional pengaturan negara atas ruang termaktub di dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945. Pertama, secara politik penataan ruang berakar pada amanat Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kedua, dari aspek pemerintahan  (daerah), penataan ruang juga berakar pada Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa "NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu  dibagi atas kabupaten dan kota, yang tipe-tipe provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur oleh UU”. Ketiga  dari segi ekonomi bersumber pada Pasal 33 ayat (3), yang menyebutkan bahwa "Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar‑besarnya kemakmuran rakyat".  
Selanjutnya pengaturan kebijakan tata ruang secara operasional dapat dilihat pada GBHN yang pada masa sekarang GBHN 1999 pada pengaturan persoalan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (pada GBHN selanjutnya juga ditemukan istilah Tata Ruang).
Pada prinsipnya sebetulnya kebijakan tentang penataan ruang di Indonesia, khususnya pada  masa Orde Baru, telah dilaksanakan secara programatik. Dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita), dikembangkan pembinaan tata ruang melalui kegiatan: (1) tata guna tanah, yakni pemetaan penggunaan tanah dan kemampuan tanah; (2) tata kota dan daerah, yakni penyusunan rencana pengembangan kota dan daerah; dan (3) tata agraria, yakni pendaftaran, penertiban, serta pengawasan hak-hak atas tanah.
Berkaitan dengan tata ruang, khususnya untuk menunjang program transmigrasi maka telah dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan skala besar, yang terdiri dari Pemetaan topografi penggunaan tanah,  kemampuan tanah gambaran umum status tanah, kerapatan pohon dan analisa tata guna tanah. Dalam rangka itu, telah dilakukan pemetaan sumber daya alam dengan sakala 1: 250.000 di seluruh wilayah darat Indonesia, hasil kerja sama antara Bakorsurtanal, Departernen Transmigrasi dan Pemerintah Inggris. Peta yang dihasilkan terkenal dengan peta REPPPROT (Regional Physical Palanning Program for Transmigration) ini meliputi peta sistem lahan dan kesesuaianlahan, peta penggunaan lahan dan status hutan, peta status lahan dan kawasan pengembangan terekomendasi. Peta-peta itu diproduksi pada tahun 1986 dengan menggunakan teknologi inderaja dan diakui sebagai peta terlengkap yang mencakup seluruh wilayah nasional. Berdasarkan peta tersebut telah disusun pula Atlas Tunjauan Sumber Daya Lahan seluruh wilayah Indonesia berskala 10:2.500‑000.
Sejak Pelita IV, terjadi perubahan penting dalam kebijakan tentang tata ruang, dibanding Pelita sebelumnya. Pertama, istilah atau sebutan Pembinaan Tata Ruang diganti dengan istilah Penataan RuangKedua, cakupan kegiatan tata ruang dipisahkan dari kegiatan-kegiatan agraria.
Apa yang disebut dengan kegiatan penataan ruang lebih difokuskan pada perencanaan tata ruang dalam berbagai ruang lingkup, seperti tata ruang wilayah (nasional dan propinsi), tata ruang daerah (kabupaten), tata ruang kota kota/perkotaan) dan tata ruang kawasan (bahagian dari propinsi, kabupaten, atau kota).
Sejak Pelita V, kegiatan penataan ruang semakin berkembang. Kegiatan-kegiatannya antara lain meliputi: (1) pemantapan strategi nasional pengembangan pola tata ruang; (2) penyusunan rencana tata ruang wilayah propinsi; (3) penyusunan rencana tata ruang wilayah kota/kabupaten; (4) penyusunan rencana tata ruang kawa; (5) tindak lanjut Undang‑Undang Nomor 21 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; dan 6) pendidikan, latihan, dan penyuluhan penataan ruang.
Perkembangan penting dalam Pelita V ini adalah dikeluarkannya Undang‑Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Undang‑undang ini menjadi landasan hukum yang operasional untuk penataan ruang. Sebelum itu tidak ada dasar hukum yang rinci setingkat UU yang mengatur tentang tata ruang. Memang penataan ruang sebenarnya telah diwadahi di dalam Undang‑undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‑pokok Agraria (UUPA). Pasal  Pasal 4 angka (2) UUPA No. 5/1960 menyebutkan:
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan hak atas tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas  menurut UU ini dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih tinggi”
Perdefinisi, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang [Pasal 1 ayat (3) UUPR No. 24/1992). Tujuannya adalah agar: (a) terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; (b) terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; (c) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk : 1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; 2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan SDA dan Sumber Daya Buatan dengan memperhatikan SDM; 3) Meningkatkan pemanfaatan penggunaan SDA dan Sumber Daya Buatansecara berdaya guna dan berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas SDM;  4) Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan; 5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan (Pasal 5 UUPR No. 24/1992).
UUPR menyebutkan bahwa berdasarkan fungsi utama kawasan, penataan ruang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya [Pasal 7 ayat (1)]. Berdasarkan aspek administrasi meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II [Pasal 7 ayat (2)]. Berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan pedesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu [Pasal 7 ayat (3)].
Berdasatkan UUTR, penataan ruang menampakan suatu proses atau prosedur yang bersifat hirarkis. Seperti tertuang di dalam Bab V UUPR No. 24/1992,   Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau yang dikenal Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR) merupakan dasar untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau dikenal dengan Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP). RSTRP menjadi dasar untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II atau dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).
Secara kelembagaan, pada Pelita V telah dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional berdasarkann Kepres No. 57 Tahun 1989. Tim mi melakukan pengawasan dan pengendalian keseluruhan penyusunan strategi nasional pengembangan pola tata ruang. Pada tahun 1993, sejak dikeluarkannya UUPR No. 24/1992, maka tim tersebutkan dimantapkan menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1993. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional adalah ketua BKTRN (sekarang berdasarkan Keputusan Presiden No. 62 Tahun 2000 Tentang: Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepres No. 75/1993 telah dicabut, dan ketua BKTRN adalah Menko Ekuin).
             Pada lingkup daerah tingkat I dan tingkat II, perkembangan kelembagaan tata ruang juga terlihat pada pembentukan Tim Koordinasi Penataan Ruang (TKPR), berdasarkan instruksii Menteri Dalam Negeri No. 19/1996. Dalam Instruksi Mendari tersebut, untuk Daefah Tingkat I Gubernur Kepala Daerah menjadi penanggung jawab. Wakil Gubernur Kepala Daerah menjadi ketua dan ketua hariannya adalah Ketua Bappeda Tingkat I. Angota‑anggota tim ini terdiri atas beberapa instansi terkait, misalnya:  Kepala Kimpraswil, Badan Pertanahan NasionaL, Kepala Dinas  Kehutanan dan sebagamya. Di Daerah Tingkat II, penanggungjawabnya adalah Bupatl/Walikota Madya Kepala Daerah dengan ketuanya  Ketua Bappeda Tingkat II. Anggota‑anggotanya berasal dari instansi‑instansi terkait.
Penataan ruang mengalami perkembangan yang menyolok sejak sejak dimulainya upaya untuk membuat Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRW) Daerah Tingkat I. Upaya ini telah dimulai seJak tahun 1988/89 dan pada tahun keempat Repelita V, seluruh Propinsi telah menyelesaikan RTRW.  Sebahagian diantaranya telah disahkan oleh Peraturan Dacrah (Perda) dan  Menteri Dalam Negeri.
 
B. PENGATURAN PENATAAN RUANG DALAM UU NO. 24/1992
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Pengaturan Penataan Ruang di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.    Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UULH No. 4/1982 menyatakan, bahwa wewenang pengaturan sebagaimana tersebut dalam ayat (3) batang tubuh UULH meliputi antara lain tatanan ruang yang merupakan sistem pengaturan ruang sebagai upaya sadar untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dan fungsi mencapai keserasian dan keseimbangan, setelah UU No. 4/1982 diganti dengan UU. No. 23/1997 pengaturan penataan ruang ini dapat diinterpretasikan dari Pasal  2, 3, 4, 8, 9, 10, 11, dan 12
 
2.    Penataan ruang sebagaimana yang dimaksud di atas tersebut di atas diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pasal 1 butir 3 UUPLH No. 23/1997 menyatakan, bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan LH, termasuk seumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
 
3.    Sebagai tindak lanjut ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 4/1982 (yang telah digantikan oleh UU. No. 23/1997) tersebut, yaitu pelaksanaan wewenang pengaturan tata ruang, telah diundangkan pada tanggal 13 Oktober 1992, Undang‑undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang  (UUPR).
 
4.    Salahsatu pertimbangan ditetapkannya UUPR adalah bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beranekaragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber‑daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
 
5.          Dengan diundangkannya UUPR, maka Stadsvormingsordonnantie 1948 (beserta Stadsvormingsverordening 1949) dinyatakan tidak berlaku lagi.
 
6.    Pasal 4 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa setiap orang berhak, menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
 
    Penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum.
    
Pengertian orang ini adalah sama dengan pengertian orang sebagimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4/1982 (UULH UU No. 23/1997 Pasal 1 point 24). selanjutnya penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa pemerintah berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat ruang.
   
Dalam hubungan dengan penjelasan pasal dalam undang‑undang perlu diperhatikan, bahwa penjelasan pasal mengikat karena sifat interpretasi otentiknya, sedangkan isi pasal dalam batang tubuh mengikat karena sifat normatifnya.
 
Pasal 4 ayat (2) UUPR menyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk :
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya     sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pem­bangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
 
Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UUPR menyatakan, bahwa hak setiap orang dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam bentuk bahwa setiap orang dapat mengajukan usul, memberi saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang.
Ini berarti bahwa perlu adanya keterbukaan (transparansi) tentang rencana tata ruang, sehingga setiap orang memahaninya, terutama dalam kaitannya dengan kemungkinan tanahnya akan terkena pelaksanaan rencana tata ruang tersebut.
 
Peran serta sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UUPR, yaitu peran serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang adalah sesuai dengan Pasal 6 dan 7 UU No. 23/1997 beserta penjelasannya (Selanjutnya tentang Peran serta Masyarakat atas Penataan Ruang ini dapat dilihat pada PP No. 69 Tahun 1996 Jo. Kepmendagri No. 8 Tahun 1998).
 
Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UUPR selanjutnya menyatakan, bahwa penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai tuang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang‑undangan ataupun atas hukum adat atau kebiasaan yang berlaku.
 
Yang dimaksud dengan penggantian yang layak adalah bahwa nilai atau besar penggantian itu tidak menguran tidak mengurangi tingkat kesejahteraan orang yang bersangkutan.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UUPR ini digunakan istilah "penggantian yang layak", bukan istilah "ganti kerugian", karena kenyataan banyak terjadi bahwa ganti kerugian tidak memadai. 
 
Penggantian yang layak dikaitkan dengan kesejahteraan orang yang bersangkutan, yang senantiasa perlu diperhatikan supaya sekurang‑kurangnya sama dengan yang telah dialaminya. Dalam hubungan dengan penggantian yang layak ini, perlu diberikan pedoman atau formula tentang penghitungan penggantian secara kuantitatif.
 
7.  Pasal 1 butir 3 UUPR menyatakan, bahwa penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
    
Pasal 7 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya.
 
Penjelasan ayat (1) menyatakan, bahwa termasuk kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka dalam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.
 
Penjelasan ayat tersebut selanjutnya menyatakan, bahwa termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.
 
Penyebutan kawasan‑kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung dan kawasan budi daya tersebut di atas tidak bersifat limitatif, akan tetapi dapat ditambah dengan kawasan kawasan lain sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berkaitan dengan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
 
Pasal 7 ayat (2) UUPR menyatakan, bahwa penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
 
Pasal 7 ayat (3) UUPR menyatakan, bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) ini menyatakan, bahwa. susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi tempat pemukiman perdesaan, tempat kegiatan pertanian, kegiatan pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
 
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi tempat permukiman perkotaan, tempat pemusatan pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan jasa. pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
 
Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan kriteria antara lain :
a.    kegiatan di bidang yang bersangkutan secara sendiri  maupun secara bersama‑sama mempunyai pengaruh besar terhadap pengembangan tata ruang di wilayah sekitarnya;
b.    kegiatan di bidang yang mempunyai dampak baik terhadap kegiatan di bidang yang sejenis maupun terhadap kegiatan di bidang lainnya;
c.      kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
 
Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa. misalnya kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri beserta sarana. dan prasaranya, kegiatan pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.
 
Penjelasan Pasal 10 ayat (4) UUPR menyatakan, bahwa peren­canaan tata ruang kawasan tertentu, koordinasi penyusunannya diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UUPR, yaitu Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang.­
 
Dalam Pasal 7 UUPR dengan demikian terdapat pada satu pihak adanya kawasan lindung dan kawasan budi daya dan pada pihak lain adanya pembagian atas kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
 
8. Pasal 8 ayat (1) UUPR menvatakan, bahwa penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan secara terpadu dan tidak dapat dipisah‑pisahkan. Keterpaduan ini adalah sesuai dengan Pasal 18 UULH dengan ketentuannya yang berkaitan dengan keterpaduan horizontal antarsektor dan keterpaduan vertikal antara pusat dan daerah.
 
9. Pasal 9 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, di samping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang‑undangan.
 
Penjelasan ayat (1) ini menyatakan, bahwa penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang daratannya berbatasan dengan laut perlu mencakup ruang lautan dalam batas tertentu. Penjelasa ruang tersebut berkaitan dengan lokasi dan tempat keqiatan masyarakat di daerah seperti tempat permukiman, kegiatan nelayan, dan sebagainya. 
 
Penjelasan tersebut selanjutnya menyatakan, bahwa penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berkaitan dengan ruang udara dalam batas tertentu. Penataan ruang tersebut bersangkutan dengan wadah kegiatan masyarakat di daerah seperti batas ketinggian bangunan, penggunaan jembatan penyeberangan yang diperlebar untuk pertokoan.
 
Dengan adanya ketentuan dala Pasal 9 ayat (1) beserta penjelasannya telah dapat diberi ketegasan tentang wewenang Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengenai ruang lautan dan ruang udara, yang dalam waktu yang lalu sering menimbulkan masalah.
 
10.Pasal 29 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertuqas mengkoordinasikan penataan ruang.
 
Penjelasan ayat (1) menyatakan, bahwa tugas koordinasi yang dimaksud meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
 
Pasal 29 ayat (2) menyatakan, bahwa tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya yang berskala besar dan berdampak penting.
 
Penjelasan ayat (2) menyatakan, bahwa perubahan fungsi ruang suatu kawasan termasuk di dalamnya perubahan bentuk fisik (bentang alam) dan pemanfaatannya meliputi perubahan sebagai akibat kejadian alam atau perbuatan manusia.
 
Perubahan atau konversi ruang suatu kawasan yang berskala besar seperti dari kawasan hutan menjadi kawasan pertam­bangan,        pertanian, permukiman, pariwisata, dan sebagainya; kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, permukiman, pariwisata, industri, dan sebagainya; kawasan perumahan menjadi kawasan industri, perdagangan, pariwisata, dan sebagainyamemerlukan pengkajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektoral, lintas daerah, dan terpusat, dikoordinasikan oleh Menteri.
 
Perubahan pemanfaatan ruang yang perlu dikoordinasikan, antara lain, meliputi perubahan ruang lautan menjadi ruang daratan        karena reklamasi di daerah pasang surut, perubahan alam perbukitan karena penambangan bahan galian golongan      C.
 
Penjelasan ayat (2) tersebut selanjutnya menyatakan, bahwa perubahan fungsi yang terjadi setelah ditetapkan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotmadya Daerah Tingkat II disesuaikan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II melalu peraturan daerah yang bersangkutan.
 
Dengan adanya ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUPR beserta penjelasannya, perubahan fungsi kawasan hanyalah dimunqkinkan, apabila (1) pemanfaatannya berskala besar dan berdampak penting; (2) dikoordinasikan oleh Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang; dan (3) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR.
 
C. BADAN KOORDINASI TATA RUANG NASIONAL (BKTRN)
Program penataan ruang menempati kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan nasional karena aspek-aspeknya meliputi bidang lingkungan hidup dan pertanahan yang terkait dengan hampir semua kegiatan dalam kehidupan manusia dan pembangunan. Oleh sebab itu, berbagai upaya dalam pelaksanaan pembangunan selayaknya selalu dikaitkan dengan kepentingan yang berkaitan dengan penataan ruang seperti pelestarian fungsi lingkungan hidup, pengembangan tata ruang dan pengelolaan aspek pertanahannya. Khususnya dalam rangka pembangunan lingkungan hidup, amanat GBHN 1993 telah jelas menegaskan bahwa pembangunan lingkungan hidup merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi. Untuk itu, pembangunan sektor ini perlu diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, secara sadar kita menjunjung tinggi pandangan bahwa ruang wilayah negara Indonesia ini merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinatif, terpadu, dan efektif dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam konteks inilah kegiatan penataan ruang diselenggarakan. Di dalam kegiatan penataan ruang tersebut, berbagai sumberdaya alam ini ditata sebagai satu kesatuan sistem lingkungan hidup yang memperhatikan keseimbangan antara satu bentuk pemanfaatan terhadap bentuk pemanfaatan yang lain. Penataan pertanahan dalam hubungan ini memiliki kedudukan yang penting karena hampir setiap kegiatan pembangunan diselenggarakan dalam areal tertentu. Dengan mempertimbangkan bahwa kebutuhan akan tanah terus meningkat, sementara ketersediaannya semakin lama justru semakin berkurang, penerapan mekanisme pengaturan pemanfaatan tanah untuk menjamin bahwa pembanguîan dan kehidupan manusia akan terpelihara keberlanjutannya perlu terus diupayakan dan ditingkatkan kualitasnya.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, dibentuk Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). BKTRN ini diketuai oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS dan memiliki anggota yang terdiri dari:
·          Menteri Negara Sekretaris Negara: Sebagai Wakil Ketua Merangkap Anggota.
·          Menteri Dalam Negeri: Anggota
·          Menteri Pertahanan Keamanan: Anggota
·          Menteri Negara Lingkungan Hidup: Anggota
·          Menteri Negara Agraria/Ketua Badan Pertanahan Nasional: Anggota
·          Deputi Ketua BAPPENAS Bidang Regional dan Daerah: Sekretaris merangkap Anggota.
Dalam Keputusan Presiden yang bersangkutan, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) ini bertugas:
  1. Melakukan inventarisasi sumberdaya dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang serta pola pengelolaannya.
  2. Mengkoordinasikan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu sebagai dasar bagi kebijaksanaan pengembangan tata ruang wilayah dan kawasan yang dijabarkan dalam program pembangunan sektor.
  3. Menyelenggarakan pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah.
  4. Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang.
  5. Merumuskan kebijaksanaan dan mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penataan ruang baik ditingkat nasional maupun daerah, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya kepada Pemerintah.
  6. Mengkoordinasikan penyusunan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Dalam perkembangannya kemudian BKTRN ini berdasarkan Kepres No. 62 Tahun 2000 diubah lagi dengan susunan keanggotaannya sebagai berikutnya:
Ketua             : Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri;
Wakil ketua    : Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah;
Anggota         : 1) Menteri Dalam Negeri;
2) Menteri Pertahanan;
3) Menteri Pertanian;
4) Menteri Negara Pekerjaan Umum;
5) Menteri Negara Lingkungan Hidup
6) Menteri Negara Otonomi Daerah;
7) Kepala Badan Pertanahan
 Nasional;
Sekretaris       : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Sedang mengenai tugas-tugas yang harus dilakukan kemudian antara lain adalah sebagai berikut:   
a.  mengkoordinasikan pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional secara terpadu sebagai dasar bagi kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional dan kawasan yang dijabarkan dalam program pembangunan sektor dan program pembangunan di daerah;
b. merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang baik di tingkat nasional maupun daerah, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya;
c.  mengkoordinasikan penyusunaan peraturan perundang-undangan dibidang penataan ruang;
d.  memaduserasikan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan penyusunan peraturan pelaksanaannya dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
e.  memaduserasikan penatagunaan tanah dan penatagunaan sumher Daya Alam lainnya dengan Rencana Tata Ruang;
f.  melakukan pemantauan (monitoring) pelaksanaan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dan memanfaakan hasil pemantauan (monitoring) tersebut untuk penyempurnaan Rencana Tata Ruang;
g.  menyelenggarakan pembinaan penataan ruang di daerah dengan mensinkronkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dalam rangka pengembangan wi layah;
h.  mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang;
i.   menyelenggarakan pembinaan dan penentuan prioritas terhadap kawasan-kawasan strategis nasional dalam rangka pengembangan wilayah;
j.  membina kelembagaan dan sumber daya manusia penyelenggara Penataan Ruang;
k.  menyelenggarakan pembinaan dan standardisasi perpetaan tata ruang.
 
D. PROBLEM PENATAAN RUANG.
             Meskipun penataan ruang telah dilakukan secara programatik sepanjang Orde Baru, dan bahkan juga telah ada BKTRN, namun persoalan ruang tetap merupakan masalah besar.
Terdapat beberapa isu pokok yang berkaitan dengan tata ruang dan pembangunan daerah di Indonesia. Paling penting diantamya adalah masalah keterpaduan perencanaan. Baik dalam arah vertilkal (sesuai hierarki perencanaan mulai dari skala nasional, daerah sampai perencanaan lokal) maupun dalam arah horisontal (antar instansi yang berbeda), nampak kecenderungan perencanaan tata ruang yang disusun sendiri‑sendiri. Tidak terjalin keterpaduan antara satu dengan perencanaan, yang lain. Akibatnya, banyak  terjadi tumpang tindih yang membingungkan pelaksana dan banyak kemubaziran yang sesungguhnya tidak perlu terjadi.
Sampai saat ini boleh dikata masih belum jelas sama sekali siapa sesungguhnya yang memiliki kewenangan penuh dalam penyusunan tata ruang. Setiap instansi baik di tingkat pusat maupun daerah seolah absah saja melakukan kegiatan penataan ruang dengan visi masing masing menggunakan kaca mata kuda. Terkesan kurang adanya kepedulian pada apa yang dilakukan oleh instansi lain yang terkait. Kemubaziran lantas tidak terelakkan, saking banyaknya tumpang tindih.
Perbedaan dalam penggunaan ruang yang diintroduksi oleh Departemen Kehutanan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (FGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) oleh PemerintahDaerah Tingkat I hanyalah salah satu contoh betapa kaburnya kewenangan itu.
Dalam pengalaman Sulawesi Tengah, ketidak jelasan itu tidak saja terjadi pada tataran kewenangan, tetapi juga sebaga akibat adanya implementasi penataan ruang di lapangan. Kebijakan‑kebijakan tentang penataan ruang kerap hanya menjadi dokumendokumen tertulis yang tidak mempunyai kekuatan ketika memeriksanya di lapangan. Tumpang tindih areal Hutan Lindung dan areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 215.000 ha di Sulawesi Tengah (lihat Biro Bina, Kependudukan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, 1990: 48), menunjukkan bahwa meskipun penataan ruang oleh Departemen Kehutanan melalui TGHK telah diformulasikan, tetapi penegakannya tidak efektif.
             Paling tidak hal tersebut memperlihatkan bahwa Departemen Kehutanan tidak memiliki kekuasaan yang cukup untuk mengontrol ruang yang telah ditatanya. Penyebabnya beraneka macam. Intervensi instansi lain yang kemudian melemahkan kemandirian Departemen Kehutanan merupakan salah satu sebah misalnya di Sulawesi Tengah.
 

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar