PENERAPAN ECOLOGICAL FOOTPRINT DALAM UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
Penataan ruang memiliki upaya guna melaksanakan pemamfaatan sumber daya wilayah agar dikelola sebaik dan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian akan fungsi lingkungan hidupnya. Penataan ruang yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif akan berakibat pada menurunnya kemampuan daya dukung lingkungan hidup, yang pada akhirnya sangat merugikan sistem wilayah itu sendiri.
Untuk itu, sumber daya wilayah senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan, prinsip pembangunan berkelanjutan merupakan syarat utama dalam penataan ruang. Sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa daya dukung lingkungan menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ataupun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Pembangunan Nasional perlu memperhatikan aspek keberlanjutan pembangunan secara seimbang. Hal ini sesuai dengan hasil Konferensi PBB tentang lingkungan hidup yang diadakan di Stockholm tahun 1972 dan deklarasi lingkungan hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, serta PREPCOM Habitat III di Surabaya tahun 2016 yang ketiganya menyepakati prinsip bahwa pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia. Demikian pula pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, yang membahas dan mencari cara mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup dunia.
Kontribusi terbesar yang diandalkan Indonesia dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam. Sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu.
Adapun, keterbatasan sumberdaya alam dan lahan mengharuskan para perencana pembangunan dapat mengatur penggunaan lahan secara proporsional agar dapat menciptakan kualitas lingkungan hidup yang optimal, untuk itu agar dapat mencapai hal tersebut, harus ada keseimbangan antara jumlah penduduk dan luas lahan berikut sumber daya yang dikandungnya, khususnya sumberdaya yang dapat diperbaharui.
Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Menurut Lenzen (2003) kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukung kehidupan manusia disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, kita kemudian harus membandingkan antara kebutuhan hidup manusia dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan.
Di Indonesia Jumlah penduduk meningkat pesat naik 142 juta jiwa, dihitung pada tahun 1980 hingga 2010, total ini signifikan bartambah hingga menjadi 259,9 juta jiwa dalam pendataan penduduk oleh Kementrian Dalam Negeri terhitung 31 Desember 2010. Hal ini berarti jumlah penduduk Indonesia berlipat hampir 2 (dua) kali jumlahnya dalam kurun waktu 30 tahun. Keadaan semacam ini menghadapkan penduduk pada berbagai masalah berat, dimana untuk mempertahankan taraf konsumsi sekarang, kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan harus ditingkatkan sekitar dua kali lipat, akibatnya degradasi lingkungan hidup semakin bertambah dan hal ini diperparah dengan kesalahan pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang dilakukan hampir diseluruh wilayah Indonesia.
Jejak ekologi (ecological footprint) merupakan salah satu pendekatan untuk mengkaji batas-batas keberlanjutan suatu ekosistem dengan mengukur permintaan penduduk atas alam dalam area global biokapasitas. Konsep ecological footprint pertama kali dirintis oleh William Rees dan Mathis Wackernagel pada tahun 1996. Saat ini, pendekatan tersebut menjadi satu referensi yang paling penting untuk analisis keberlanjutan global (rees dan Wackernagel, 1996).
Jejak ekologis menunjukkan bahwa daerah yang kita tempati di bumi ini tidak hanya sekedar rumah tempat kita tinggal, akan tetapi keseluruhan lahan yang dibutuhkan untuk mendukung hidup kita. Tidak semua lahan bisa berfungsi untuk menunjang kehidupan kita secara berkelanjutan. Oleh karena itu, jejak ekologis hanya mengukur lahan yang mampu berproduktif biologis. Ecological footprint mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan meterik, yaitu area global biokapasitas. Dengan membandingkan ecological footprint dengan ketersediaan biologis bumi (biokapasitas). Berikut Rincian asumsi untuk menetapkan kebutuhan lahan perorang adalah :
1) Transportasi : metode atau kendaraan apa yang digunakan dalam bepergian, apakah menggunakan motor, mobil, ataukah berjalan kaki.
2) Penggunaan air : menunjukkan seberapa banyak air yang digunakan setiap harinya, dan lama penggunaan air bersih.
3) Berpakaian : menunjukkan berapa pakaian yang digunakan setiap harinya.
4) Rekreasi : menunjukkan kegiatan refreshing yang dilakukan perminggu ke tempat rekreasi.
5) Makanan : menunjukkan berapa banyak makanan yang dikonsumsi dengan menu 4 sehat 5 sempurna.
6) Sampah : menunjukkan metode pembuangan sampah yang dilakukan, dan berapa banyak sampah yang dihasilkan dalam sehari.
7) Ruang/tempat tinggal : menunjukkan seberapa luas tanah dan ruangan yang digunakan untuk individu dan keluarganya serta dalam melaksanakan aktivitas sehari hari.
Kini konsep jejak ekologi harus digunakan dengan sebagai petunjuk akan kelestarian alam sekitar. Jejak ekologi boleh membantu pihak pemerintah merancang sistem kehidupan manusia dalam memenuhi kehendak menjalankan aktiviti ekonomi seperti pertanian, pembalakan, dan sebagainya.Analisis ini beranjak dari pertanyaan sederhana tentang seberapa besar kebutuhan manusia dan makhluk hidup didalamnya jika dibandingkan dengan kemampuan sumberdaya alam (biokapasitas) yang dapat ditampungnya, serta apakah kondisi bioekosistem masih mampu memenuhinya, karena bagaimanapun juga ekosistem memiliki batas-batas dalam menopang seluruh aktivitas manusia.(Febrianto Samin)
sumber:http://mediatataruang.com
gambar:https://en.wikipedia.org