Industri Sawit Terganjal Aturan Tata Ruang

NEWS UPDATE

Industri Sawit Terganjal Aturan Tata Ruang

Industri Sawit Terganjal Aturan Tata Ruang

VIVAnews - Pengusaha kelapa sawit menyesalkan hingga saat ini masalah tata ruang nasional belum juga tuntas akibat beberapa provinsi yang tidak juga mendapatkan kepastian pengesahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan menjelaskan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sempat mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat enam provinsi yang aturan tata ruangnya sulit diselesaikan.

Enam provinsi itu antara lain Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau.

"Salah satu penyebab adalah tumpang tindih kawasan budi daya perkebunan dan tambang batu bara dengan kawasan hutan ketika proses persetujuan RTRWP masih berjalan," kata Fadhil dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu 3 Maret 2010.

Berlarut-larutnya penuntasan aturan ini, menurut dia, mengakibatkan ketidakjelasan status lahan yang akan dipakai maupun dikembangkan oleh pengusaha perkebunan kelapa sawit. 

Imbasnya, dia menambahkan, program revitalisasi perkebunan rakyat yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian akan terganggu karena salah satu programnya yakni mencakup perluasan lahan.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal GAPKI Joko Supriyono mengatakan, masalah ini sangat mengganggu pertumbuhan industri kelapa sawit Indonesia yang ditargetkan dapat memproduksi 40 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada 2020, sekaligus menjadi program utama pengentasan kemiskinan.

"Ketidakjelasan status lahan akibat belum tuntasnya RTRWP, tentu saja merugikan para pengusaha yang akan melakukan penanaman baru dan mengembangkan luas lahannya," ujarnya.

Apabila pemerintah pusat dan daerah tidak juga menyelesaikan, hal itu dapat merugikan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Berdasarkan data GAPKI, perluasan kebun kelapa sawit rata-rata per tahun diperkirakan mencapai rata-rata 400 ribu hektare (ha). Dengan asumsi satu hektare lahan memerlukan investasi Rp 40 juta, total investasi diperkirakan Rp 16 triliun.

"Artinya, ketidakpastian pengesahan RTRWP ini menghambat investasi baru senilai Rp 16 triliun untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit," ujarnya.

Salah satu penyebab utama tidak rampungnya RTRWP ini adalah ketidaksinkronan peraturan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan kehutanan, perkebunan, dan tata ruang.

"Investor memperoleh izin lokasi. Tetapi izin lokasi tersebut menjadi tidak berlaku karena berada dalam kawasan hutan," kata dia.

Sementara itu, provinsi memiliki RTRWP. Menurut RTRWP, izin tersebut tidak di kawasan hutan, tetapi hal itu tidak diakui oleh pemerintah pusat. "Investor yang berniat membangun dan memajukan daerah jangan sampai menjadi korban ketidaksinkronan peraturan," ujarnya.

Ketidaktuntasan penyelesaian masalah ini, dia menambahkan, makin runyam ketika pemerintah mengeluarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.

Ketua Kompartemen Komunikasi dan Publikasi GAPKI Eddy Martono menilai, beleid tersebut dapat menyulitkan perkembangan industri kelapa sawit nasional untuk mengembangkan luas lahan, karena prosedur perolehan lahan baru eks hutan akan makin sulit.

Untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan eks hutan produksi misalnya, pemohon hak harus mengganti lahan dengan lahan lain dengan perbandingan 1:1 dalam satu daerah aliran sungai dalam provinsi yang sama.

"Jelas ini adalah mustahil, kalau pemohon memiliki lahan (untuk lahan pengganti) kenapa harus mengajukan pelepasan kawasan hutan baru untuk investasi," ujar Eddy.

Peraturan pemerintah tersebut, menurut dia, tidak saja menghambat pengembangan baru kebun kelapa sawit, tetapi juga menyulitkan posisi perkebunan kelapa sawit yang operasionalnya sebelum 1999. 

Semua perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi sebelum 1999, tetapi belum memperoleh izin pelepasan kawasan hutan harus mengurus kembali pelepasan kawasan hutan dimaksud.

"Ini kan langkah mundur. Dan anehnya, PP ini bersifat retroaktif sehingga perkebunan yang sudah beroperasi sebelum 1999 bisa dianggap melanggar UU dan dikategorikan kriminal," katanya.

sumber:http://bisnis.news.viva.co.id/

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar