Aspek Teoritis Terhadap Konsep Penataan Ruang

NEWS UPDATE

Aspek Teoritis Terhadap Konsep Penataan Ruang

Aspek Teoritis Terhadap Konsep Penataan Ruang

Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 proses utama, yakni  proses perencanaan tata ruang wilayah RTRW, proses pemanfaatan ruang, proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.

Di Indonesia, penataan ruang telah ditetapkan melalui UU No.26/2007 yang kemudian diikuti dengan penetapan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) untuk operasionalisasinya. Berdasarkan UU No.24/1992, khususnya pasal 3, termuat tujuan penataan ruang, yakni terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya. Sesuai dengan UU No.26/2007 tentang penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana Secara nasional.

Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah diyusid3bedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25 – 50 tahun ke depan. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah 5 – 10 tahun, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek. Selain penyiapan rencana untuk wilayah administratif, maka disusun pula rencana pengembangan (spatial development plan) untuk kawasan-kawasan fungsional yang memiliki nilai strategis.

Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah ditetapkan fungsi kota-kota secara nasional berdasarkan kriteria tertentu (administratif, ekonomi, dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya) yakni sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Untuk mewujudkan fungsi-fungsi kota sebagaimana ditetapkan dalam RTRWN secara bertahap dan sistematis. Dalam hal ini ada beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni  konflik kepentingan antar-sektor, belum berfungsinya secara optimal penataan ruang, terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan yang mana penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan, kemudian degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut dan udara.Banjir Bandang Sibolangit

Pada era otonomi daerah, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun. Bahkan Badan Planologi Kehutanan menyebutkan penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di Pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 – 1999.

Contoh lainnya adalah penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah berkurang luasannya baik akibat kebakaran dan penjarahan/penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review kurang lebih 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang berfungsi lindung tersebut maka akan menimbulkan run-off yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan pesisir.

Sungai Citarum yang disampingnya mengaling anak sungai membawa air limbah Industri

Sungai Citarum yang disampingnya mengaling anak sungai membawa air limbah Industri

Selain itu kondisi satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dari keseluruhan 89 SWS yang ada di Indonesia, terdapat 22 SWS berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di Pulau Jawa. Seluruh SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir pada musim hujan, sebaliknya juga menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bilamana kecenderungan negatif dalam pengelolaan SWS tersebut terus berlanjut, maka produktivitas sentra-sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial (seperti Citarum, Saddang, Brantas, dsb) akan terancam pula. Kus

sumber:http://mediatataruang.com/

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar