Peran data Geospasial bagi Daerah

NEWS UPDATE

Peran data Geospasial bagi Daerah

Peran data Geospasial bagi Daerah

Perencanaan desa adalah suatu unit paling dasar dalam hirarki perencanaan wilayah atau tata ruang regional. Perencanaan desa berdasar pada aspirasi masyarakat, adalah kebijakan yang ditetapkan BRR dalam rangka pembangunan kembali kehidupan masyarakat, desa dan lingkungan sekitarnya. Dalam perencanaan wilayah ini BRR telah menetapkan bahwa para korban yang selamat memiliki peranan terbesar dalam menentukan masa depan mereka sendiri.

Tentang pemanfaatan data geospasial untuk perencanaan desa, data geospasial telah digunakan dalam berbagai kegiatan selama program pemulihan NAD-Nias, diantaranya adalah perencanaan desa (village planning) project ADB untuk Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETSP), evaluasi jalan sekunder Banda Aceh Meulaboh dari USTDA (Departemen Perdagangan Amerika Serikat) dan kegiatan pemetaan desa secara terestris lainnya oleh beberapa NGO. Hampir setiap pelaksana rehab-rekon bidang perumahan dan infrastruktur telah mengetahui pentingnya data geospasial.

Sekarang manusia mulai mengetahui bahwa bencana (gempa dan tsunami) terjadi tidak random begitu saja tetapi merupakan bagian proses evolusi bumi. Hampir setiap bencana sekarang dapat dipetakan, diukur dan dianalisis, meskipun kita belum dapat memprediksi kapan terjadinya. Walau demikian perkembangan teknologi informasi khususnya Geographic Information System (GIS) memungkinkan kita secara nasional, regional ataupun organisasi lokal membuat perencanaan dan managemen persiapan, dan mitigasi (Aronof, 1991). Pemanfaatan teknologi GIS dapat digunakan untuk membantu mengurangi korban dan kerugian karena bencana. Masalah utama dalam setiap program rehabilitasi dan rekonstruksi adalah pada penataan ulang wilayah yang hancur. Perencanaan dan pengelolaan lokasi bencana (termasuk perencanaan desa) pasti berkaitan dengan lokasi dan posisi (seperti pemilihan lokasi desa, ketersediaan data). Itu sebabnya perencanaan wilayah pasca bencana pasti membutuhkan data dan informasi geospasial.

Dalam pengelolaan bencana alam, kita mengenal urutan penanganan yaitu mitigasi, persiapan, tanggap darurat dan rekonstruksi. Mitigasi dan persiapan-persiapan umumnya dilakukan sebelum bencana. Istilah mitigasi berarti aktifitas yang ditujukan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya bencana (peraturan, perencanaan yang baik, pengelolaan gedung dan land use, identifikasi bencana). Sementara persiapan (Preparedness) adalah tindakan yang diambil sebelum terjadinya bencana, ketika mitigasi dianggap tidak mencukupi untuk dapat melindungi dari bencana (termasuk operasional tindakan pencegahan, pembangunan early warning system, dan pendidikan). Pada masa tanggap darurat, ketersediaan informasi geospasial sangat berarti. Tanggap darurat adalah tindakan pada saat terjadi bencana, berupa koordinasi, pencarian dan penyelamatan (search and rescue), pendugaan kerusakan (damage assessment) dan minimalisasi kehilangan dari bencana berikutnya. Sementara recovery (rehabilitasi dan rekonstruksi) adalah tindakan untuk mengembalikan sistem kepada fungsinya yang normal dalam jangka panjang, seperti menyingkirkan sampah, akses air bersih, makanan, shelter dan sebagainya. Menon (1996) menyatakan “penanganan darurat (emergency management) memerlukan 10% telekomunikasi, 20% operasi dan 70 % informasi.

Ketersediaan data geospasial akan sangat membantu keputusan dalam melakukan tindakan bagi BRR ataupun gampong itu sendiri, baik sebelum terjadinya bencana seperti kajian lokasi rawan bencana, manajemen bencana, mitigasi berbagai resiko, evakuasi dan penyelamatan ataupun setelah bencana seperti rehabilitasi dan rekonstruksi. Adanya data geospasial yang baik maka gampong akan memiliki data tentang status dan kepemilikan tanah yang benar dan detil, sehingga memudahkan perencanaan gampong sendiri ataupun monitoring pelaksanaan pembangunan oleh BRR ataupun NGO. Selain itu, basis data geospasial yang benar memudahkan penanganan wilayah rawan bencana di kemudian hari.

Pendekatan partisipatif, khususnya dalam hal perencanaan dan pemetaan desa, adalah pekerjaan pemetaan tanah yang dilakukan untuk menyepakati kepemilikan asal oleh warga bekerjasama dengan pihak lain baik swasta ataupun organisasi pemerintah (BRR2, 2005). Setiap persil tanah dinyatakan oleh pemilik atau saksi-saksi yang diketahui oleh Keucik (kepala desa) dan mukim (kepala wilayah gampong). Peta perencanaan desa yang dihasilkan merupakan hasil kesepakatan di antara masyarakat yang dituangkan dalam bentuk peta perencanaan dengan fasilitator atau bantuan pihak konsultan.

Masalah kurang akuratnya data geospasial untuk perencanaan desa menjadi kendala utama setelah ketersediaan data, seperti yang dialami olehbeberapa NGO. Ketidak akuratan data mereka pada umumnya adalah pada data kontur dan beberapa layer topografi (seperti jalan, sungai dan batas administrasi), sementara data persil mereka cukup detil. Dalam kasus ini, registrasi data mereka ke peta dasar topografi skala 1:2.000 dan proses tumpang tindih dengan foto udara membantu meminimalkan kesalahan.

Unsur topografi dalam pemetaan dan perencanaan pemukiman, sebagaimana tertulis dalam dokumen pedoman teknis perencanaan desa menjadi keharusan. Hanya, yang menjadi kendala para pelaksana pekerjaan perencanaan desa adalah data topografi tidak selalu tersedia dan mereka tidak menyiapkan anggaran khusus untuk itu. Beberapa NGO melaksanakan pengukuran sendiri, seperti yang dilakukan LOGIKA untuk beberapa desa. Meskipun menurut mereka, sering kali hasil pengukuran tersebut tidak digunakan karena jadwal penyelesaian pengukuran tidak pas dengan batas akhir kegiatan perencanaan desa yang ada dalam schedule mereka.

Peran Data Geospasial untuk Perencanaan Makro

Untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) wilayah diperlukan sebagai acuan spasial bagi kegiatan pengembangan sosial dan ekonomi. Oleh karenanya, salah satu program utama BRR dalam menata lingkungan wilayah NAD-Nias adalah penyusunan RTRW skala makro, baik kota ataupun kabupaten, bahkan beberapa NGO melakukan penyusunan tata ruang kecamatan dan perencanaan lingkungan (ADB, 2006). Sebagaimana penyusunan tata ruang mikro skala desa yang menggunakan pendekatan partisipatif, maka dalam penyusunan tata ruang makro juga dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) dan partisipasi dari masyarakat sendiri sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 1992.

Beberapa kota dan kabupaten telah mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebelum bencana (gempa dan tsunami), yang disusun tahun 2002 untuk masa berlaku 2002 – 2010. Namun karena perubahan yang sangat besar akibat bencana, maka BRR dengan bantuan konsultan tata ruang melakukan revisi terhadap RTRW kota dengan tetap memperhatikan aspek kawasan rawan bencana. Berbekal berbagai dokumen, telah disusun revisi RTRW untuk beberapa kota dan kabupaten. Rencana tata ruang merupakan upaya untuk mengintegrasikan berbagai macam sumber daya di suatu wilayah/kota ke dalam suatu deliniasi wilayah perencanaan. Artinya komponen-komponen tata ruang di dalam wilayah perencanaan harus terintegrasi, di samping itu, wilayah perencanaan juga harus terintegrasi dengan rencana yang hirarkinya lebih tinggi. Dalam perencanaan Kota Banda Aceh misalnya, selain harus memperhatikan komponen tata ruang yang ada di wilayahnya, juga harus memperhatikan peranannya dalam lingkup yang lebih luas agar dapat menciptakan sinergi dengan rencana-rencana spasial lainnya.

Peran data geospasial dalam perencanaan makro sangat vital, karena memberikan dasar bagi pengembangan kawasan. Umumnya data geospasial yang digunakan adalah skala 1:10.000 untuk perencanaan tata ruang Kecamatan, dan skala 1:50.000 untuk perencanaan Kabupaten. Kendala utama kegiatan perencanaan tata ruang di NAD pasca tsunami relatif sama yaitu ketersediaan data khususnya data digital terutama untuk perencanaan tata ruang detil. Status akhir data digital skala 1:10.000 sebenarnya cukup besar yaitu mencakup wilayah pemotretan cukup luas sekitar 6.000 km2. Namun sayang, tidak seluruh foto udara yang ada diinterpretasi menjadi data garis sebagai peta digital skala detil. Demikian pula skala menengah 1:50.000 hanya tersedia untuk seluruh wilayah NAD dalam bentuk cetakan (hard copy), khusus wilayah yang terkena tsunami tersedia dalam bentuk digital. Sementara program rehab-rekon BRR ternyata meluas ke seluruh kabupaten di NAD. Wilayah yang telah dilakukan revisi tata ruang meliputi kota banda Aceh, Kabupaten Aceh barat, penataan kawasan krueng Aceh Aceh Besar, Koawasan kota meulaboh, Kawasa wisata Lagundo di Nias selatan, kota Cane di kabupaten Aceh Tenggara, kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Timur, Bireun, Piddie dan Kabupaten Simeuleu.

Peran Data Geospasial untuk Pemetaan Rawan Bencana

Program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah NAD-Nias boleh dibilang sebagai ajang percontohan penerapan pembangunan wilayah berwawasan bencana (Kompas, 2006). Dalam arti, diperlukannya informasi sebaran dan tipe bencana yang ada pada wilayah yang akan dibangun, serta perlunya data geospasial dan dukungan teknologi GIS. Analisa GIS dengan memanfaatkan data geospasial dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias untuk pemetaan rawan bencana terus terang masih belum dilakukan oleh BRR. Lebih banyak dalam beberapa kasus di BRR, data geospasial dipakai sebagai pelengkap tampilan peta seperti pada program perencanaan desa. Walau demikian terdapat pula beberapa NGO melakukan analisa GIS cukup kompleks dalam kaitannya dengan pemetaan rawan bencana seperti modeling tsunami (Seadefence), pemetaan multihazard (GTZ), pemetaan rawan gempa (BGR), dan studi mikrozonasi (LAPI-ITB).

Lewat GTZ, pemerintah Jerman telah melakukan pemetaan rawan bencana untuk Banda Aceh dengan menggunakan data dasar skala 1:250.000 dari BAKOSURTANAL. Pemetaan multihazard yang dilakukan oleh GTZ meliputi rawan bencana longsor, banjir, bahaya gunung merapi dan gempa bumi. Metodologi sederhana yang digunakan cenderung menghasilkan area bencana yang besar seperti kriteria buat banjir yang hanya menggunakan parameter ketinggian di bawah 5 meter daerah bekas tsunami, dan bekas rawa. Padahal diketahui bahwa selama ini hujan selalu menjadi penyebab utama banjir dimanapun di kota-kota besar di Indonesia (Santoso, 2006).

Atas kerjasama GTZ dan BRR, kami mengadakan workshop dua hari khusus membahas metodologi penyusunan peta rawan bencana. Rekomendasi yang dikeluarkan peserta workshop sebenarnya bermanfaat sebagai masukan bagi BRR dalam pembuatan Standard Operational Procedure (SOP) pembangunan berwawasan bencana. SOP dimaksudkan sebagai pedoman bagi BRR dalam menetapkan standar prosedur pelaksanaan kegiatan.. Adanya SOP menjamin BRR mengevaluasi kegiatan pemetaan rawan bencana secara konsisten, agar mendapat hasil yang benar dan terpercaya.

Peran Data Geospasial untuk Perencanaan Infrastruktur Jalan dan Energi

Untuk perencananaan infrastruktur jalan, data geospasial yang paling diperlukan secara umum adalah data titik tinggi geodesi ataupun titik GPS. Praktis hingga akhir 2007 status data TTG dan titik GPS masih belum berubah. Selain pembangunan jalan utama, Departemen perdagangan dan pengembangan Amerika (USTDA-United States Trade and Development Agency) melakukan studi kelayakan pembangunan jalan-jalan sekunder dengan memanfaatkan data geospasial. Studi ini meliputi identifikasi dan penentuan prioritas jalan feeder dan sekunder dan mengembangkan spesifikasi teknis untuk proyek jalan tersebut. Selain untuk mendukung pembangunan infrastruktur jalan ataupun evaluasi program jalan, data geospasial juga dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pembangunan pembangkit listrik, seperti contoh di wilayah Takengon. Yang cukup menarik adalah analisa sederhana berdasar digitasi on screen dari data rupabumi dapat membantu perhitungan pendanaan proyek pembangkit listrik. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) wilayah di Aceh Tengah, lokasi dekat danau tawar Takengon.

sumber:http://mdarmawan-kenkyu.blogspot.co.id

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar