RTBL Sebagai Alat Perancangan Kota “IDEAL” Untuk Pengaturan Bangunan dan Lingkungannya

NEWS UPDATE

RTBL Sebagai Alat Perancangan Kota “IDEAL” Untuk Pengaturan Bangunan dan Lingkungannya

RTBL Sebagai Alat Perancangan Kota “IDEAL” Untuk Pengaturan Bangunan dan Lingkungannya

Sering kali pengaturan bangunan (tinggi, KDB, KLB, sempadan, dll) diterapkan hanya berdasar pada produk-produk rencana tata ruang seperti RTRW, RUTRK, RDTRK, dan RTRK. Dengan sifat perencanaan dua dimensinya, maka beberapa aspek teknis yang terkait dengan analisis tiga dimensi bangunan praktis ”diabaikan”. RTBL sebagai manifestasi perancangan kota (urban desain) merupakan ”jembatan” antara perencanaan tata ruang kota (urban planning) dengan arsitektur bangunan (architecture). Dengan basis perancangan tiga dimensi yang dimilikinya serta penekanan pada potensi dan kendala lokal, menjadikan produk RTBL dinilai lebih tepat untuk pengaturan bangunan.

angunan sebagai dominasi wujud fisik kota, merupakan hasil karya ”arsitek” yang penting dalam membentuk wajah dan citra kota. Perkembangan fisik ini cenderung belum memperhatikan aspek-aspek pengaturan bangunan secara spesifik dan khusus sesuai dengan potensi lingkungan sehingga perkembangan yang terjadi lebih cenderung bersifat ”unplaned” (tidak terencana atau terencana secara alami). Perkembangan ini dapat bersifat positif bila aturan yang terbentuk mengacu pada kepentingan lingkungan secara bersama, dan akan bersifat sebaliknya bila perkembangan yang berjalan merupakan perwujudan kepentingan masing-masing individu.

clip_image005Perkembangan atau perubahan ini pada dasarnya disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai aktivitas yang tidak dapat dikendalikan. Keterbatasan sumber daya kota serta aturan hukum yang belum tepat, mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengendalikan kerusakan fisik kota. Banyak elemen pengaturan bangunan (GSB, Tinggi, KLB, ARP, Set-back, dll.) saat ini hanya menggunakan rencana-rencana kota yang bersifat sangat makro seperti RTRW, RUTRK, RDTRK dan RTRK di mana seringkali materinya belum mencakup analisis pengaturan bangunan secara spesifik dan mendalam serta masih lebih bersifat universal.

Menghadapi perkembangan ini, sudah saatnya jika perencana dan perancang kota perlu semakin luwes dalam arti bahwa aspek-aspek mikro harus mampu untuk diangkat lebih tinggi. Hal ini sangat membantu dalam mengarahkan pembangunan fisik kota yang diidamkan. Salah satu produk rencana kota yang tengah banyak dikembangkan dalam menghadapi tuntutan pengaturan ini adalah penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai suatu produk dari urban design.

 

Kebutuhan Urban Design

Urban design atau perancangan kota lahir karena adanya kebutuhan perangkat pengendali yang diperlukan untuk memandu pembangunan kota/kawasan secara fisik tiga dimensional sehingga lingkungan binaan yang terwujud dapat memenuhi berbagai aspirasi masyarakat.

Kehadiran Urban Design merupakan reaksi atas keterbatasan berbagai pendekatan perencanaan kota (Urban Planning) yang diterapkan selama ini dalam menghasilkan lingkungan binaan fisik yang lebih layak. Metode perencanaan kota yang banyak mengandalkan pada perhitungan kuantitatif cenderung hanya mampu melihat bagaimana optimasi dari pemanfaatan lahan kota, namun sedikit sekali kaitannya dengan aspek kualitas lingkungan binaan yang sebenarnya banyak didambakan oleh penghuni kota.

Di sisi lain, wujud fisik kota (arsitektur kota) yang terbentuk dari aturan pembangunan yang dihasilkan oleh produk-produk rencana tata ruang kota, kurang atau bahkan sama sekali tidak mencerminkan jatidiri masyarakat dan lingkungan yang diwadahinya. Hal ini mengakibatkan arsitektur kota cenderung bernada universal yang mengabaikan kenyataan akan adanya norma dan kondisi lokal yang ada. Gedung–gedung yang merupakan unsur terkuat pembentuk arsitektur kota dibangun lebih sebagai monumen individu daripada sebagai suatu sistem organisasi sosial, visual dan fisik secara terpadu. Sebagai implikasi dari kondisi ini adalah berkembangnya bentuk kota sebagai tampilan kepentingan–kepentingan pribadi (Urban Design as private display) yang mengabaikan kepentingan bersama yang lebih luas.

Adanya keterbatasan aturan-aturan tata ruang kota untuk menjangkau bagian dari pengaturan bangunan, serta keterbatasan aturan-aturan teknis bangunan untuk mengatur lingkungan kota mengakibatkan munculnya ”grey area” antara ruang kota dan bangunan.

Pada pengaturan bangunan telah banyak ditetapkan aturan-atauran mengenai IMB, HO, peraturan beton, baja, dll. Pada sisi tata ruang kota juga telah ada berbagai aturan tingkatan tata ruang mulai dari RTRW sampai RTRK. Di antara dua sisi pengaturan ini, maka terdapat ”grey area” yang belum dapat diatur secara jelas dan tegas seperti jalur pedestrian, ruang terbuka publik pada kapling bangunan, reklame, street furniture, desain PKL, corak arsitektur lingkungan setempat, landmark kawasan, dll. Melalui RTBL-lah pengaturan elemen-elemen yang mengkaitakan antara bangunan dan kota dapat diatur dengan detail dan jelas.

Dalam posisi ini, kehadiran Urban Design merupakan ”jembatan” yang diperlukan untuk menghubungkan berbagai kebijaksanaan perencanaan kota dengan berbagai produk–produk fisik arsitektur. Jelas di sini bahwa Urban Design merupakan suatu perangkat panduan bagi arsitek untuk mewujudkan lingkungan binaan yang tanggap terhadap isu lingkungan baik yang bersifat fisik maupun non–fisik.

Sebagai jembatan antara perencanaan kota dan arsitektur bangunan maka jelas bahwa Urban Design bukan suatu produk akhir. Walaupun demikian, Urban Design akan sangat menentukan kualitas produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan. Oleh karena itu Urban Design harus merupakan suatu proses yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, kemampuan sumber daya setempat.

Planning-Design-Architecture

Dalam tahapan pembangunan kota, perancangan kota (urban design) merupakan proses kelanjutan dari perencanaan kota (urban planning). Urban design lebih mengacu pada penjabaran wujud fisik tiga dimensi kota sebagai kelanjutan dari perencanaan dua dimensi yang dihasilkan dalam produk-produk rencana kota. Perancangan kota merupakan dasar yang seharusnya menjadi panduan (guidenlines) bagi perancang bangunan (arsitek).

clip_image013Dalam suatu proses perencanaan (planning) bila data kondisi lokasi (input) sama kemudian dilakukan dengan model atau alat analisis yang sama maka akan diperoleh hasil perencanaan yang relatif sama. Pada produk perancangan (design) meskipun input sama dan dianalisis dengan alat dan model yang sama belum tentu memiliki out put yang sama dan bahkan cenderung selalu berbeda. Hal ini karena adanya beberapa pertimbangan persepsi dan kognisi pengamat/pengguna seperti aspek sosial budaya, perilaku, art/estetika dan lain-lain.

Dengan kemungkinan beragamnya bentuk hasil perancangan kota, maka permasalahan yang muncul adalah produk perencanaan mana yang benar. Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, maka kita harus mengkaitkan dengan pelaku dan pemakai wilayah perancangan, suatu produk design yang baik adalah yang dapat diterima secara lebih tepat sesuai kondisi masyarakatnya. Selain itu, produk perencanaan harus sesuai dengan karakteristik wilayah yang mampu memanfaatkan potensi dan meminimalisasi kendala wilayah. Untuk dapat mencapai hal tersebut mutlak diperlukan pendekatan pada aspek–aspek sosial masyarakatnya. Pada tataran inilah peran Urban Design diharapkan lebih dapat mengakomodasikan berbagai tututan masyarakat penggunanya.

Dalam pembangunan kota, kepentingan dari Urban Design terletak di antara dua skala, yaitu skala arsitektur yang berkepentingan dengan wujud fisik dari bangunan secara individu yang bersifat private, serta skala perencanaan kota yang berkepentingan dengan pengembangan kawasan atau kota yang berorientasi pada kepentingan umum dan makro ekonomis pada konteks kota yang lebih luas. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Urban Design berkepentingan dengan kualitas fisik dan kualitas spesial dari lingkungan binaan kota.

RTBL sebagai Produk Urban Design

Penerapan RTBL merupakan upaya dalam pengendalian terhadap perwujudan tertib pembangunan, terjaminnya aspek keselamatan bangunan, lingkungan dan manusia, baik pada saat pembangunan maupun pemanfaatannya. Secara makro dapat dikatakan pula bahwa penerapan RTBL diharapkan dapat meningkatkan aspek perlindungan kawasan/kota tertentu yang mempunyai nilai ekonomi, sosial dan budaya yang penting.

clip_image018

Selain faktor-faktor fisik (terutama pengaturan bangunan dan ruang kota) terdapat faktor-faktor non fisik seperti sosial budaya yang harus diikutsertakan dalam perencanaan dan perancangan suatu kota. Oleh karena itu, RTBL selain merancang elemen-elemen fisik kota, juga harus memeperhatikan faktor-faktor sosial dan budaya masyarakat.

Sebagai suatu produk dari perancangan kota (urban design), maka RTBL akan lebih banyak mengkaji aspek-aspek kualitas ruang kota secara visual maupun fungsional. Sebagai kelanjutan dari rencana kota yang telah ada, maka RTBL lebih banyak memberikan arahan dan aturan (urban design guidlines) pembangunan secara 3 dimensi. Bangunan sebagai elemen fisik utama akan banyak dikaji, demikian juga dengan jalan dan ruang-ruang terbuka (street and square) sebagai elemen pembentuk struktur ruang kota.

Peranan dan Manfaat RTBL

Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan rencana pendayagunaan pemanfaatan ruang kota untuk membentuk jati diri kota yang produktif dan efisien. Rencana ini dilakukan pada kawasan-kawasan potensial kota guna meningkatkan kemampuan kawasan sesuai dengan potensi yang dimiliki kawasan tersebut, sehingga memberikan manfaat tidak saja kepada penduduk setempat tetapi juga kepada calon-calon pengusaha, warga masyarakat dan pemerintah kota, serta pembangunan perkotaan di Indonesia.

Peningkatan fungsi kawasan kota melalui RTBL dapat diprioritaskan pada kawasan andalan yang terpilih sesuai dengan rencana tata ruang kota. Peningkatan kawasan potensial ini dilaksanakan melalui penyusunan tata bangunan dan lingkungan yang berskala ekonomi sebagai wujud dari rencana tata ruang kota.

RTBL juga akan berperan penting pada kawasan spesifik yang memiliki nilai–nilai kultural, historis serta secara visual estetis memiliki karakter sebagai memori kota agar dapat dilakukan penanganan lebih lanjut dari sekedar perencanaan kota (urban planning). Perlu dilakukan upaya dan strategi, arahan pengembangan kawasan agar lebih terkendali, terpadu dan berkelanjutan. Pemanfaatan kawasan spesifik yang berkembang cepat juga harus diikuti pengaturan, pengendalian bangunan baik mengenai tata bangunan dan tata lingkungan (RTBL) sebagai bagian kesatuan manajemen pembangunan perkotaan. Diharapkan kawasan yang dikembangkan secara ekonomi akan bermanfaat pula secara psikologis, visual estetis, ekologis dalam kesatuan arsitektur kota dinamis.

RTBL juga sangat diperlukan dalam kawasan kota yang memiliki vitalitas ekonomi yang tinggi mengalami kemunduran karena berbagai sarana dan prasarana yang ada sudah usang dan tidak dapat dikembangkan lebih lanjut. Kawasan ini menjadi tidak produktif dan tidak lagi memberikan kontribusi yang positif terhadap kehidupan ekonomi kota. Secara fisik kawasan ini juga mengalami degradasi lingkungan yang membawa dampak yang buruk bagi menurunnya kualitas lingkungan hidup dan meningkatnya tindak laku yang bersifat negatif di wilayah tersebut.

Dengan perannya pada beberapa jenis kawasan tersebut, maka RTBL sudah sewajarnya mengacu pada kondisi nyata di lapangan dengan tetap merujuk pada RUTRK, RDTRK dan RTRK searah dengan prediksi pengembangan ke depan, agar mampu mengantisipasi perkembangan ke depan secara nyata. Pengalokasian fungsi kawasan kota ke dalam optimasi lahan serta intensitas pembangunan disesuaikan dengan potensi lingkungan masing–masing. Beberapa pembatasan penting yang berdasar pada potensi historis dan kendala alami meruapakan aspek penting yang harus dikaji dalam RTBL.

Adapun peran Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan adalah sebagai pedoman untuk:

  • Dasar bagi pemberian ijin mendirikan bangunan dan pemanfaatan bangunan secara lebih jelas dan tegas
  • Penertiban letak, ukuran bangunan gedung dan bukan gedung serta bukan bangunan
  • Penyusunan rancang bangun bangunan gedung dan bukan gedung
  • Pengaturan elemen-elemen private agar dapat terpadu dengan kawasan kota melalui “urban design gudenlines”.
  • Jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaan pembangunan, termasuk kepastian untuk mendapatkan pelayanan, kondisi yang selaras dan serasi dalam melakukan kegiatannya.

Kedudukan RTBL dalan RTR

clip_image020Produk perencanaan kota dimulai dari jenjang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sifatnya makro dan bersifat filosofis, produk ini merupakan dasar–dasar yang penting dalam menentukan arah kebijaksanaan perkembangan kota. Produk selanjutnya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang secara makro sudah lebih teknis sifatnya, sedangkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) skalanya wilayah dan lebih detail dari yang di atasnya. Makin ke bawah lagi skalanya makin mikro yaitu yang dikenal dengan Rencana Teknik Ruang Kota) RTRK.

Dalam tataran hirarki, RTBL sebenarnya setingkat dengan RTRK namun RTBL tidak tidak secara administratif hirarkis dari rencana tata ruang di atasnya, sehingga kawasan RTBL lebih dibatasi pada kawasan fungsional khusus tertentu.

Dari berbagai tingkatan rencana kota tersebut, maka akan diikuti dengan peraturan daerah sebagai alat implementasi rencana tata ruang. Produk RTBL juga harus diikuti dengan pembentukan Peraturan Bangunan Khusus (PBK).

Penyusunan dan Pelaksanaan RTBL

RTBL sebagai produk “ideal” (ideal dalam tanda kutip) dalam upaya pengaturan bangunan dan lingkungan kawasan kota adalah tidak dapat terlepas dari berbagai kendala dalam penyusunan dan terlebih lagi dalam tahap pelaksanaannya. Hal ini terjadi mengingat produk-produk perancangan yang dihasilkan adalah bersinggungan langsung antara kepentingan public dan private. Pengaturan yang ideal untuk kepentingan publik tentu akan banyak memberikan batasan pada kepentingan private, dan demikian sebaliknya. Bagaimana suatu produk RTBL dapat berada pada keseimbangan kepentingan public dan private tentu merupakan posisi perancangan yang ”ideal” dalam arti sebenarnya.

Berkaitan dengan penyusunan RTBL, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai berikut:

  1. Perancangan tata bangunan dan lingkungan harus berdasar pada kebutuhan dan aspirasi kondisi dan permasalahan warga/masyarakat setempat, sehingga bentuk analisis dan perancangan yang disusun dapat diterima dalam masyarakat. Suatu konsep study yang sangat baik, namun butuh usaha ”luar biasa” untuk implementasinya.
  2. Perancangan elemen-elemen bangunan dan lingkungan harus dapat membentuk citra lokal yang seharusnya ”tidak dapat” secara mudah diimplementasikan secara mudah untuk kawasan lain.
  3. Ketersediaan data kapling dan masa bangunan eksisting menjadi syarat utama yang seringkali tidak tersedia. Hal ini tentu bukan merupakan kendala biaya biaya pengukuran tapak kawasan dan bangunan dapat dilakukan.
  4. Bahwa produk RTBL hendaknya berbasis perancangan secara tiga dimensi dan tidak lagi hanya mengkaji aspek fungsi dan tata ruang.
  5. Produk RTBL tidak hanya berhenti pada tampilan gambar-gambar perspektif yang ”idealis” dan sangat menarik, namun menekankan pula aspek realisasinya di lapangan.
  6. Semua bentuk pendekatan dan perancangan harus dapat disertai dengan arahan dan manajemen dalam realisasi pelaksanaan, termasuk berbagai insentif dan disinsentif yang akan diterapkan.
  7. Keterbatasan biaya untuk penyusunan produk RTBL dapat menjadi ”akar” permasalahan mengenai kualitas produknya, walau hal ini tidak selalu bersifat ”mutlak”.

Akhirnya sebagai suatu produk kajian, maka keberhasilan pengaturan bangunan melalui RTBL sangat tergantung pada kemampuan ”perencana”, kesungguhan ”pelaksana” serta peran serta ”masyarakat dan investor”. Tanpa dikuti sinergi semua stakeholder maka produk RTBL hanya akan menjadi dokumen rapi yang tersimpan di dinas/instansi Pemerintah Daerah atau Kota.

Dengan makin tingginya apresiasi terhadap produk-produk rencana tata ruang (termasuk RTBL), maka diharapkan bahwa berbagai aspek mendasar yang berpengaruh terhadap kompleksitas permasalahan kota dapat dikendalikan secara lebih terencana dan terpadu.

Oleh:  Bayu Arie Wibawa, ST, MT, IAI

 sumber:http://www.inkindo-jateng.web.id

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar