Rapat Teknis BKPRN Pembahasan Pembelajaran Implementasi UU 26/2007 tentang Penataan Ruang

NEWS UPDATE

Rapat Teknis BKPRN Pembahasan Pembelajaran Implementasi UU 26/2007 tentang Penataan Ruang

Rapat Teknis BKPRN Pembahasan Pembelajaran Implementasi UU 26/2007 tentang Penataan Ruang

Bali, (24/3). Sekretariat BKPRN mengadakan rapat teknis BKPRN guna mendalami implementasi UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang di daerah yang meliputi perencanaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta untuk mendapatkan input jika dilaksanakan revisi UU No. 26/2007 di Ruang Rapat Karya, Werdhapura, Provinsi Bali pada Kamis (24/3).

Perencanaan Tata Ruang

Selama ini, proses penyusunan RTRW dipengaruhi oleh kebijakan pusat, kebijakan politis daerah, rencana sektoral, serta faktor investasi. Kebijakan Presiden (RPJMN) dan Kepala Daerah (RPJMD) seringkali tidak sinkron dengan indikasi program yang ada di RTRW. Akibatnya implementasi indikasi program dalam RTRW sulit untuk didanai baik APBN maupun APBD.

Nawacita dan RPJMN 2015-2019 diharapkan dapat diakomodir di dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota agar dapat diberikan izin pembangunannya. Namun hingga saat ini, Pemerintah Daerah belum memiliki acuan berupa Pedoman PK dan Revisi yang sifatnya percepatan (mekanisme sama seperti ketika menyusun Perda, sehingga memakan waktu dan proses yang panjang).

Dalam penyelesaian RTR, diketahui ada beberapa kendala seperti penetapan RTH maupun kawasan konservasi dalam RTRW seringkali menyebabkan konflik dengan investor. Investor merasa tidak tersosialisasikan sehingga tidak dapat memanfaatkan lahan yang dimilikinya. Pembahasan bersama legislatif memakan waktu yang lama dengan proses yang rumit. Belum adanya mekanisme insentif dan disinsentif yang efektif (terutama untuk perlindungan lahan sawah), dan juga belum adanya NSPK Penyusunan RTR KSP/Kab/Kota.

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kondisi eksisting pengendalian pemanfaatan ruang di daerah saat ini masih terdapat konflik antara pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW, padahal RTRW seharusnya sudah merupakan dokumen konsensus.

UU 26/2007 sudah mengatur penguatan law enforcement pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi insentif, disinsentif, perizinan, sanksi dan peraturan zonasi, namun implementasi di lapangan masih sulit membedakan antara “sanksi” dan disinsentif.

Proporsi pembinaan seperti koordinasi, bimtek, penyebarluasan informasi, pendidikan, pelibatan masyarakat, sistem informasi, pelatihan, dll belum dijadikan prioritas sehingga dirasa belum optimal dalam pelaksanaannya.
Dihadiri oleh Subdit Tata Ruang Bappenas; Sekretariat BKPRN; Bappeda Provinsi Bali, Balai Informasi Permukiman dan Perkotaan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kemen PUPR, rapat ini menghasilkan dua input substansi yang perlu dipertimbangkan jika UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang direvisi, yakni:
1. Perencanaan Tata Ruang: RTR dan RP dapat disinkronkan, sehingga RTR menjadi panglima dalam pembangunan dan RTR KSP/Kab/Kota tidak perlu disusun mengingat dalam implementasinya kurang efektif.
2. Pengendalian Pemanfaatan Ruang: perlu perbaikan dalam kelembagaan (Pusat maupun Daerah), peningkatan pelibatan masyarakat, penyusunan perangkat hukum operasionalisasi kelembagaan, mengakomodir nilai kearifan lokal, pengembangan sistem informasi pengendalian pemanfaatan ruang beserta mekanismenya, penyusunan NSPK terkait, dukungan pendanaan, peningkatan kapasitas SDM dan peningkatan kualitas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bidang Tata Ruang.

Dari Studi Kasus Taman Ayung (Subak) di Bali, diperoleh beberapa pembelajaran seperti penataan ruang memiliki peran penting sebagai instrumen untuk melindungi  dan mengembangkan kawasan pusaka melalui penetapan kawasan cagar budaya dan kawasan strategis sosial budaya baik pada tingkat nasional, tingkat provinsi dan tingkat  kabupaten/kota. Model pengelolaan kawasan pusaka berkelanjutan ini dapat digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk diterapkan pada kawasan dengan karakteristik tertentu. [EY, RN]

sumber: http://v2.bkprn.org

AGENDA

0 Komentar

Tulis Komentar